KATADATA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan 15 asosiasi perusahaan pengguna jasa pelabuhan mengecam peraturan tarif progresif penimbunan kontainer sebesar 900 persen yang berlaku sejak 1 Maret lalu. Kebijakan anyar untuk memangkas waktu bongkar muat barang di pelabuhan (dwelling time) itu dinilai tidak tepat karena malah menyebabkan biaya logistik semakin mahal. Selain itu, dianggap melanggar Peraturan Menteri Perhubungan.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan Rico Rustombi mengatakan, aturan baru berdasarkan surat keputusan direksi PT Pelindo II tentang tarif pelayanan jasa peti kemas pada terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, itu jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 117/2015 tentang relokasi barang atau peti kemas di Tanjung Priok. Pasal 3 dalam peraturan itu menyebutkan, pemilik barang atau importir mendapat kelonggaran menumpuk barang di pelabuhan selama tiga hari.
Alhasil, Kadin menilai penerapan tarif progresif 900 persen pada hari kedua setelah kapal sandar di pelabuhan akan mengakibatkan kenaikan biaya logistik dan menurunkan daya saing produk nasional. Padahal, pekerjaan bongkar muat peti kemas oleh Pelindo II memakan waktu 4-5 jam. Rata-rata waktu kedatangan kapal pukul 10.00-11.00 malam, namun lewat pukul 12.00 malam sudah dikenakan tarif progresif.
Menurut Rico, peraturan baru itu tidak sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memangkas dwelling time sehingga meningkatkan daya saing Indonesia di antara negara lain. "Kalau tujuannya mau menurunkan dwelling time, bukan dengan menaikkan tarif, karena malah bikin biaya logistik mahal," katanya dalam siaran pers Kadin yang diterima Katadata, Rabu malam (16/3). Ia menambahkan, penurunan waktu bongkar muat barang di pelabuhan dapat diturunkan melalui cara penyederhanaan aturan, membangun infrastruktur, dan lain-lain.
(Baca: Disentil Jokowi, Rizal Buat 7 Langkah Pangkas Waktu Bongkar Muat)
Seperti diberitakan Katadata sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman di bawah pimpinan Rizal Ramli tengah berupaya memangkas dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Deputi II Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan, dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok per 14 Maret lalu sudah mencapai 3,64 hari. Namun, Presiden menginstruksikan agar waktu tersebut diturunkan lagi menjadi 2-3 hari dalam sebulan ke depan.
Demi merespons instruksi tersebut, Kemenko Maritim dan Kementerian Perhubungan menyusun tujuh langkah untuk menurunkan waktu bongkar muat tersebut. Salah satunya adalah pengenaan denda terhadap kontainer yang menumpuk di pelabuhan. Per 1 Maret lalu, petikemas isi impor dikenakan tarif propgresif penumpukan pada hari kedua dan selanjutnya sebesar 900 persen dari tarif dasar. Namun, Agung mengungkapkan, terjadi kesalahan pengenaan denda karena denda seharusnya baru muncul pada hari ketiga. Adapun untuk petikemas isi ekspor dan ekspor kosong, pada hari keenam hingga ke-10akan dikenakan biaya 200 persen dari tarif dasar. Terhitung hari ke-11 dan seterusnya, biaya per harinya sebesar 300 persen.
(Baca: Pengusaha Tolak Lonjakan Tarif Penimbunan Petikemas)
Upaya lain menurunkan dwelling time adalah deregulasi peraturan perizinan, pembenahan sistem jalur dan pemeriksaan fisik barang, serta pembangunan jalur kereta api. Selain itu, penerapan sistem pembayaran secara online di bea cukai, pembenahan sistem teknologi dan informasi, dan mencari alternatif pelabuhan lain di sekitar Tanjung Priok untuk menampung kontainer perusahaan.
Namun, Rico mengklaim, Kadin memiliki data rinci mengenai biaya yang harus dikeluarkan pengusaha saat berurusan dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Secara lebih rinci, Chief Executive Officer Cikarang Dry Port Benny Woemardi menjelaskan, tarif dasar penyimpanan peti kemas di Pelabuhan Priok saat ini Rp 27 ribu per peti kemas berukuran 20 kaki, atau Rp 54.400 per peti kemas berukuran 40 kaki. Namun, jika tarif progresif diterapkan, angkanya akan melambung sangat tinggi. “Saya menghitung rata-rata penalti itu mencapai Rp 244.800 per peti kemas per hari untuk 20 kaki. Sementara untuk 40 kaki mencapai Rp 489.600 per peti kemas per hari,” katanya. Angka tersebut belum termasuk biaya lainnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia, Redma Gita, mengatakan biaya tambahan pelayanan jasa peti kemas isi untuk ekspor dan impor berkisar Rp 65 ribu – 75 ribu per boks. Selain itu, masih ada pemindahan lokasi kontainer sebesar Rp 3 juta per kontainer berukuran 40 kali. Biaya ini digunakan untuk pengangkutan dengan truk, serta menaik-turunkan barang, tapi belum termasuk cost recovery. “Jadi bisa dibayangkan berapa mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan para pelaku usaha,” katanya.
(Baca: April, Jokowi Targetkan Bongkar Muat Pelabuhan Priok 3 Hari)
Di sisi lain, Rico menganggap Pelindo II hanya ingin meraup keuntungan besar dari kebijakan tarif progresif itu. Dominasi penguasaan infrastruktur pelayanan publik oleh satu perusahaan BUMN memicu persaingan tidak sehat, termasuk di pelabuhan. Karena itu, perlu keterlibatan swasta dalam pengelolaan pelabuhan sehingga kompetisi berjalan. “Yang diprioritaskan public service obligation (PSO), tapi Pelindo malah cari profit,” katanya.
Bahkan, dia menilai, aturan yang dikeluarkan Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Umum Pelindo II Dede R. Martin tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan. "Apalagi beleid itu ditetapkan di saat kursi Dirut Pelindo II dan otoritas pelabuhan vakum,” kata Redma.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno pun menganggap Pelindo II menipu pengusaha melalui kenaikan tarif tersebut. Ia mengatakan Pelindo II menyebut semua pengusaha telah setuju. “Dikatakan, dua asosiasi penyedia jasa setuju naik. Masa suruh bayar mahal, mau tanda tangan?” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan ini.
Berdasarkan banyak penilaian itulah, Kadin mendesak manajemen Pelindo II segera mencabut keputusan tersebut. Permintaan itu berdasarkan hasil pertemuan konsolidasi Kadin dengan 15 asosiasi pengguna jasa pelabuhan di Jakarta, Rabu (16/3). Bahkan, Kadin akan mengambil langkah-langkah yang efektif dan mengadu secara resmi kepada Presiden dan parlemen.