Bisa Pulih, Industri Tekstil Butuh Pengendalian Impor

Katadata
(Arief Kamaludin | KATADATA)
24/2/2016, 13.37 WIB

KATADATA - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu sektor yang paling terpukul oleh perlambatan ekonomi di dalam negeri. Kontribusi industri TPT terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Oktober 2015 malah mengalami kontraksi, atau tumbuh negatif sebesar 6,1 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (year-on-year). Padahal, laju pertumbuhan PDB sektor industri manufaktur secara keseluruhan pada periode itu mencapai 4,3 persen.

Industri TPT diperkirakan masih lesu pada 2016 karena belum adanya sentimen positif untuk mengangkat pertumbuhannya. Apalagi, kondisi ekonomi global sebagai pasar ekspor Indonesia, juga belum pulih. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) telah memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 3,6 persen menjadi 3,4 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan hanya 2,6 persen.

Padahal, ekspor TPT Indonesia sangat bergantung pada ekonomi global, terutama Amerika Serikat (AS) dan Eropa sebagai pasar terbesar. Porsi ekspor TPT ke Amerika Serikat dan Eropa masing-masing 31 persen dan 16 persen.  Pada 2015, nilai ekspor TPT diperkirakan turun 5,3 persen (yoy) dari US$ 12,68 miliar menjadi US$ 12 miliar. Bahkan, sampai Oktober tahun lalu ekspor sektor ini baru menembus US$ 10,2 miliar atau 77 persen dari target. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk TPT Indonesia ke seluruh pasar dunia per Oktober 2015 turun 13 persen. Tren penurunan ini mulai terjadi sejak 2012.

Yang menjadi pesaing berat Indonesia untuk pasar Amerika Serikat dan Eropa adalah Vietnam. Biaya produksi industri tekstil di Vietnam tidak terlalu tinggi karena upah tenaga kerja yang lebih murah. Alhasil, berbeda dengan Indonesia, kinerja ekspor Vietnam naik 11 persen pada tahun lalu. Sementara itu, industri TPT di Indonesia masih menghadapi masalah peningkatan upah buruh dan bahan baku yang semakin mahal lantaran dampak pelemahan mata uang rupiah.

Sedangkan Menteri Perdagangan Thomas T. Lembong menilai Vietnam sebagai ancaman sekaligus pesaing terbesar Indonesia untuk sektor industri sepatu dan tekstil. Apalagi, negara ini masuk dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). Persaingan Indonesia dengan Vietnam pun dianggap makin berat karena Vietnam sudah menyelesaikan negosiasi untuk perdagangan bebas dalam free trade agreement (FTA) dengan Uni Eropa. Sedangkan Indonesia diharapkan mampu bergabung dengan TPP dalam dua tahun mendatang.

(Baca: Cina Melemah, Industri Manufaktur Indonesia Berpeluang Meningkat)

Kondisi ini menyebabkan banyak perusahaan di dalam negeri yang gulung tikar karena tidak mampu bertahan di tengah kenaikan biaya produksi. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat, ada 6.000 pekerja pabrik tekstil pada empat kecamatan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang diberhentikan sementara (lay off) selama Januari-Mei 2015.

(Baca: BKPM Targetkan Investasi Tahun Ini Tumbuh 14,4 Persen)

Namun, dalam riset terbaru industri yang dipublikasikan Rabu (23/2), analis Bank Mandiri menilai industri tekstil masih memiliki harapan di masa depan. Harapan itu mengacu kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mencatat adanya peningkatan rencana investasi untuk sektor tekstil, baik asing maupun domestik. Industri pengolahan serat tekstil tumbuh 213 persen pada semester pertama 2015, atau sebesar Rp 2,4 triliun.

Sementara itu, industri pertenunan tekstil tumbuh 613 persen atau Rp 163 miliar, dan industri pakaian tumbuh 16 persen atau Rp 941 miliar. Industri perlengkapan pakaian juga tumbuh, yaitu sebesar 563 persen atau Rp 216 miliar. BKPM juga mencatat adanya potensi ekspor dari industri garmen sebesar US$ 65,5 juta.

(Baca: Cina Mulai Melirik Investasi Sektor Tekstil di Indonesia)

Meski begitu, analis Bank Mandiri memperkirakan pemulihan industri TPT membutuhkan upaya pengendalian impor dari pemerintah serta pengamanan pasar dalam negeri lewat kebijakan nontarif.  Kebijakan-kebijakan lain yang dibutuhkan adalah restrukturisasi permesinan industri tekstil dan alas kaki, serta menjamin ketersediaan bahan baku kapas.

Reporter: Maria Yuniar Ardhiati