Sembilan Poin Negosiasi Kontrak Kereta Cepat Masih Alot

Arief Kamaludin|KATADATA
Suasana ekspo Jaringan Kereta Cepat Negara Tiongkok di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Pameran menampilkan beragam jenis kereta cepat dan pembangunan stasiun kereta yang telah dipergunakan di negara Tiongkok yang rencananya juga akan di pergunak
Penulis: Muchamad Nafi
3/2/2016, 19.59 WIB

KATADATA - Perundingan antara PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), pemegang proyek kereta cepat Jakarta – Bandung, dan Kementerian Perhubungan belum menemui kata akhir. Mereka masih tawar-menawar dalam sejumlah isu.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwiatmoko mengatakan ada sembilan poin yang belum disepakati terkait perizinan. Pertama mengenai konsesi masa operasi. Kementerian hanya menyepakati konsorsium Badan Usaha Milik Negara Indonesia-Cina itu mengelola selama 50 tahun terhitung sejak penandatanganan konsesi.

Kedua terkait fee konsesi. Lalu, mengenai larangan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tunduk pada perundang-undangan Indonesia, dan poin prasarana yang mesti diserahkan dalam kondisi clean and clear setelah masa konsesi berakhir. (Baca: Kementerian Perhubungan Tolak Hak Ekslusif Kontraktor Kereta Cepat).

Klausul lain yang juga belum disepakati yakni soal perjanjian konsesi tidak dapat dibatalkan sepihak oleh pemerintah apabila ada perubahan undang–undang. Selain itu terkait pemberian hak eksklusif rute kereta, terutama dalam hal stasiun pemberhentian minimal 10 kilometer dari stasiun KCIC. Lalu, menyangkut izin operasi yang dapat diberikan pemerintah untuk sarana kereta cepat lainnya setelah persetujuan KCIC. Poin terakhir yakni terkait jaminan pemerintah.

“Saya sudah sampaikan ke Pak Hanggoro (Direktur Utama KCIC Hanggoro Budi Wiryawan). Dia bilang akan sampaikan ke seluruh direksi dan komisaris terlebih dahulu,” kata Hermanto di kantornya, Jakarta, Rabu, 3 Februari 2016.

Dalam kesempatan ini, Hermanto juga kembali mengingatkan soal belum sepakatnya KCIC dengan TNI AU mengenai stasiun perhentian terakhir kereta cepat. Akibatnya, KCIC mesti mencari alternatif stasiun lain. Walau hanya menggeser koordinat, tapi dipastikan akan mengubah dokumen yang harus dirampungkan KCIC.

Tak selesai sampai di situ, Kementerian Perhubungan memberi syarat tambahan bagi KCIC yaitu kewajiban memasang sistem peringatan dini atau early warning system gempa dan kajian seismologis. Hal ini merupakan tuntutan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingat jalur Jakarta - Bandung merupakan rute rawan gempa dan longsor. (Lihat pula: Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dari Cina Diduga Lebih Mahal).

“Ini bagian dari penyempurnaan desain. Apalagi BMKG menyampaikan di kilometer 91 itu ada patahan (sesar) yang berpotensi gempa,” kata Hermanto. Walau demikian, dia menyatakan semua izin tersebut dapat dikerjakan secara paralel. Apabila rampung, KCIC dapat memulai membangun jalur kereta minimal lima kilometer.

Terkait pendapatan yang diprediksi terbatas, Kementerian Perhubungan menyarankan KCIC mengambil keuntungan dari bisnis lain dibandingkan mengandalkan dari harga tiket. Diprediksi, pendapatan kereta cepat dari tarif tiket cukup berat untuk menutup invesatasi yang mencapai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 77 triliun.

Salah satu yang disarankan Hermanto adalah pola pengembangan wilayah dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) seperti yang diajukan oleh KCIC dan Kementerian BUMN. “Mudah-mudahan dengan konsep itu bisa segera break even point,” kata Hermanto. (Baca: Cina Bidik Pengembangan Kawasan Jalur Kereta Cepat).

Sebelumnya, Direktur Utama KCIC Hanggoro Budi Wiryawan mengatakan pemanfaatan TOD di wilayah yang disinggahi kereta cepat akan efektif menutup biaya operasional. Karena itu, konsorsium tidak mengincar keuntungan langsung dari bisnis transportasi. Jadi, “Konsepsi besarnya adalah pengembangan ekonomi kawasan, bukan saja soal kereta cepat,” katanya.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution