KATADATA - Sudah beberapa kali PT Freeport Indonesia menytakan serius membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter. Namun sejak ramai-ramai kisruh perpanjangan kontrak karya perusahaan itu pada akhir tahun lalu hingga kini, kemajuannya belum signifikan. Padahal, target awalnya, pabrik tersebut kelar pada tahun depan.
Walau demikian, Direktur Freeport Indonesia Clementio Lamury mengatakan optimistis pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur selesai tepat waktu sesuai dengan ketentuan pemerintah. “Kami sudah melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan. Akhir Juli tahun ini bisa groundbreaking,” kata Clementio saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi Energi dan Pertambangan, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 20 Januari 2016.
Kewajiban membangun smelter ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Bila tak melaksanakannya, kontraktor atau pemegang izin usaha dilarang mengekspor produknya. Larangan ini akan dicabut seiring kemajuan pembangunnan smelter. Namun, dalam tahapan tersebut, perusahaan akan terkena bea keluar progresif. Adapun izin menjual mineral ke luar negeri bisa diperbarui dalam periode tertentu. (Baca: Empat Perusahaan Siap Bangun Smelter di Gresik).
Dalam aturan teknis, Pasal 13 dan 14 Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 11 Tahun 2014 menyebutkan perpanjangan rekomendasi eskpor diberikan apabila perusahaan memenuhi sejumlah syarat. Pertama, kemajuan pembangunan smelter paling sedikit telah mencapai 60 persen dari target setiap enam bulan. Kedua, mempunyai kinerja lingkungan yang baik selama enam bulan terakhir. Misalnya, baku mutu kualitas air dan udara memenuhi baku mutu lingkungan. Ketiga, membayar kewajiban penerimaan negara bukan pajak selama enam bulan terakhir.
Sementara itu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.011/2014 Pasal 4A menjelaskan tentang tarif Bea Keluar produk mineral hasil pengolahan yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter sesuai presentase nilai serapan biaya. Indikatornya meliputi penempatan jaminan kesungguhan, Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA) atau dokumen yang menunjukkan tersedianya pasokan bahan baku, fase studi, perijinan, penguasaan lokasi, penyiapan infrastruktur, rekayasa dasar, pengadaan peralatan, konstruksi, mechanical completion, commissioning, dan
Presiden Joko Widodo juga menekankan pentingnya smelter ini. Bahkan, dia menyatakan bila kontrak Freeport ingin diperpanjang mesti melakukan lima, salah satunya mendirikan pabrik pengolah dan pemurnian. (Baca: Perpanjangan Kontrak Freeport, Jokowi Minta 5 Syarat).
Atas lambannya pendirian pabrik ini, Clementio menjelaskan pembangunan Smelter di Gresik sebenarnya sudah berjalan. Namun, belum mengalami banyak kemajuan. “Progressnya sudah 11,5 persen. Sebagian lahan Petrokimia Gresik sudah direklamasi, sebagian lainnya belum,” ujarnya. Menurut dia, lambatnya pembangunan smelter diakibatkan oleh penandatanganan engineering procurement construction (EPC) yang baru dilakukan akhir 2015.
Sebelumnya, mantan Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin mengatakan Freeport akan membangun smelter di daerah Gresik, Jawa Timur. Tepatnya di utara pabrik smelting Gresik yang ditaksir memiliki luas 80 hektare. Lahan yang akan ditempati dimiliki oleh Petrokimia Gresik. Freeport akan menyewa lahan tersebut dengan biaya US$ 8 per meter persegi per tahun.
Bila dibanding perusahaan lain, pembangunan smleter Freeport memang cukup lamban. Misalnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat dua pabrik smelter sudah masuk proses konstruksi pada tahun lalu. Dua smelter senilai Rp 6,4 triliun itu akan beroperasi pada 2016. (Baca: Dua Smelter Beroperasi 2016, Bagaimana dengan Freeport?).
Kedua fasilitas milik PT Huadi Nickel Alloy Indonesia dengan investasi Rp 1,7 triliun dan PT Titam Mineral Utama senilai Rp 4,7 triliun tersebut berada di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. “Hal ini menandakan kelayakan investasi smelter logam nikel,” kata Kepala BKPM Franky Sibarani pada awal Desember tahun lalu.
Menurut Franky, pada tahap pertama smelter nikel milik Titan Mineral akan berkapasitas produksi 12 ribu ton per tahun. Adapun kapasitas produksi pabrik Huadi Nickle sebesar 100 ribu ton per tahun. “Huadi, kami targetkan Februari sudah memulai produksi dan ekspor,” kata Franky. (Baca: Investor Cina Siap Bangun Smelter di Papua).
Diprediksi, beroperasinya kedua smelter itu akan menyerap sekitar 1.900 tenaga kerja. Baik Huadi maupun Titam berkomitmen menggunakan mayoritas tenaga kerja lokal. Hal ini ditunjukan dengan dikirimnya 20 calon pekerja Huadi ke Cina. Ke depan, perusahaan itu akan menggunakan 80 persen tenaga kerja lokal. Sedangkan Titam telah mengirim 40 tenaga kerja ke Balai Latihan Kerja Industri di Makassar.