KATADATA - Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan neraca perdagangan bulan Desember 2015 pada Jumat besok (15/1). Para ekonom memperkirakan neraca dagang Desember lalu kembali mencatatkan surplus lantaran laju penurunan impor lebih dalam dibandingkan ekspor.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperkirakan, kinerja ekspor pada Desember lalu turun 16 persen hingga 17 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, kinerja impor diperkirakan turun lebih dalam yakni 19 persen. Alhasil, pada Desember lalu neraca dagang masih membukukan surplus meskipun tipis sekitar US$ 400 juta.
“Ekspornya cenderung melemah, karena harga minyak turun, ekspor minyak sawit mentah juga landai. Tapi ada peluang surplus karena impor turun lebih dalam,” ujar David kepada Katadata, Kamis (14/1). Surplus di bulan terakhir tahun lalu tersebut turut menopang membaiknya defisit transaksi berjalan sekitar US$ 17 miliar sepanjang 2015.
Pencapaian neraca dagang Desember itu lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya. BPS mencatat neraca dagang November 2015 defisit US$ 346,7 juta, yang merupakan defisit dagang pertama sepanjang 2015. Pasalnya, nilai ekspor mencapai US$ 11,16 miliar atau turun 7,9 persen dibandingkan bulan sebelumnya, sementara impor US$ 11,51 miliar atau naik 3,6 persen.
Menurut David, upaya pemerintah memacu pembangunan infrastruktur telah mendorong permintaan terhadap bahan baku dan barang modal. Karena itu, impor meningkat di akhir tahun lalu. Meski begitu, kinerja ekspor diyakini masih lebih baik daripada impor sehingga bisa membukukan surplus neraca dagang.
(Baca: Pertama Sepanjang 2015, Neraca Dagang November Defisit)
Ekonom Bank Pembangunan Singapura (Development Bank of Singapore/DBS) Gundy Cahyadi juga memproyeksikan, neraca dagang pada Desember 2015 surplus US$ 100 juta. Hal ini ditopang oleh penurunan ekspor sebesar 18 persen sedangkan impor turun 17,6 persen. Kombinasi antara permintaan global yang memburuk dan kurangnya daya saing Indonesia membuat kinerja ekspor Indonesia menurun. Apalagi, pertumbuhan ekspor barang manufaktur Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di kawasan regional.
Adapun sepanjang 2015, Gundy memperkirakan neraca dagang mencatatkan surplus US$ 10 miliar. Pencapaian tersebut lebih baik dibandingkan defisit neraca dagang sepanjang tahun 2012-2014 yang mencapai minus US$ 8 miliar. Meskipun begitu, dia meramal defisit transaksi berjalan pada tahun depan akan melebar menjadi 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) sejalan dengan upaya pemerintah memulihkan perekonomian dengan memacu proyek-proyek infrastruktur.
(Baca: BI Perkirakan Defisit Transaksi Berjalan 2015 Menciut 36 Persen)
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan total defisit transaksi berjalan pada tahun 2015 mencapai US$ 17,5 miliar. Ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2014 yang minus US$ 27,5 miliar atau menciut sekitar 36 persen. Nilai tersebut paling rendah dalam empat tahun terakhir. Transaksi berjalan tercatat positif terakhir kali pada tahun 2011 yaitu sebesar US$ 1,68 miliar. Adapun total defisit transaksi berjalan tahun 2015 sebesar US$ 17,5 miliar itu setara dengan 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun lalu yang diperkirakan Kementerian Keuangan sebesar Rp 11.357 triliun.