Harga Gula Masih Tinggi Akibat Keterlambatan Impor dan Distribusi

ANTARA FOTO/Fauzan/foc.
Pekerja menyiapkan gula pasir untuk disalurkan ke operasi pasar dan penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gudang Perum Bulog Sub Divisi Regional Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Rabu (29/4/2020). Harga gula hingga kini masih stabil tinggi di pasar akibat keterlambatan impor.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
13/5/2020, 18.21 WIB

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan harga gula masih stabildi level tinggi hingga saat ini. Menurutnya, hal tersebut terjadi lantaran ada impor gula pasir yang tertunda serta distribusi barang yang terhambat.

"Karena beberapa deaerah di negara lain ada pembatasan akibat lockdown sehingga impor terlambat," kata Airlangga usai rapat terbatas melalui konferensi video, Rabu (13/5).

Demi mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah melakukan pengalihan gula rafinasi untuk konsumsi. Dia berharap, pengalihan gula rafinasi ini dapat menurunkan harga gula di pasaran.

"Diharapkan dengan pengalihan ini, harga bisa ditekan ke bawah," kata dia.

(Baca: Jokowi Soroti Harga Bawang Merah dan Gula Pasir yang Tak Kunjung Turun)

Sekadar informasi, harga gula pasir di pasar tradisional saat ini masih stabil tinggi di kisaran Rp 17.650 per kilogram dari yang sebelumnya menyentuh level Rp 20 ribu per kg. Sementara di pasar modern, gula pasir sudah seharga Rp 12.500 per kilogram sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Namun, stoknya tak terlalu besar. 

Terkait bawang putih, Airlanga menyebut impor sudah masuk ke dalam negeri. Pada April, impor bawang putih yang masuk sebanyak 94 ribu ton. Sedangkan, impor yang masuk pada bulan ini sebanyak 78 ribu ton.

Dengan datangnya impor, maka akan menambah stok di dalam negeri yang sebanyak 81 ribu ton pada April 2020 dan 129 ribu ton pada Mei 2020. "Diharapkan dengan adanya stok, harga bisa terkendali," ujarnya.

Sementara untuk bawang merah, hingga kini pemerintah belum berencana impor. Pasalnya, persoalan tingginya harga bawang merah, menurut Airlangga dikarenakan distribusinya yang merata, bukan karena suplai. Beberapa wilayah Indonesia memiliki kemampuan memproduksi bawang merah secara besar.

(Baca: Meski Pandemi, Jokowi Kembali Tegaskan Produksi Pangan Surplus)

Airlangga mencotohkan produksi bawang merah di Jayapura, Papua yang sebanyak 64 ribu ton. Produksi bawang merah di Banda Aceh, Aceh sebesar 65 ribu ton ataupun di Sulawesi Tenggara sebesar 53.750 ton.

"Jadi seperti Menteri Pertanian (Syahrul Yasin Limpo) sampaikan, ini masalaah distribusi yang akan perlu didorong," ujarnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menyoroti harga bawang merah dan gula pasir yang masih berada di atas HET hingga saat ini. Padahal, Jokowi sudah meminta agar harga kedua komoditas tersebut diturunkan sejak lama.

Menurut Jokowi, harga bawang merah rata-rata masih sebesar Rp 51 ribu per kilogramnya. Padahal, normalnya harga bawang merah hanya sebesar Rp 32 ribu per kilogram.

Sementara itu, Jokowi menyebut harga gula pasir dapat mencapai Rp 17.500 per kilogram. Padahal, HET untuk gula pasir sebesar Rp 12.500 per kilogram.

Atas dasar itu, dia meminta para menteri menelusuri mengapa harga kedua komoditas yang tak kunjung turun hingga saat ini. "Saya ingin ini dilihat masalahnya ada di mana, urusan distribusi, memang stok yang kurang, atau memang ada yang sengaja permainkan harga untuk sebuah keuntungan yang besar,"  ujar Jokowi.

Menurutnya, pemantauan terhadap harga kebutuhan pokok ini penting dilakukan secara berkala. Dengan demikian, harga bahan pokok dapat terkendali.

Reporter: Dimas Jarot Bayu