Tertekan Daya Beli, Bisnis Retail Kuartal II Diramal Tumbuh Minus 3%
Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) memperkirakan pertumbuhan industri retail sepanjang kuartal kedua 2020 terkontraksi minus 2,5 hingga 3 % dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat akibat pandemi corona.
Adapun pada triwulan pertama, industri retail masih tumbuh sekitar 2,7%. Sedangkan pada semester satu, pertumbuhan industri diperkirakan bisa mencapai 1%.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, kinerja industri retail sangat bergantung pada kemampuan daya beli masyarakat. Sementara itu, selama pandemi corona, banyak sektor usaha lesu hingga merumahkan atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Alhasil, banyak masyarakat kehilangan penghasilan. Di sisi lain, banyak pula masyarakat yang menahan belanja atau hanya memenuhi kebutuhan pokok saja.
Indikasi pelemahan daya beli pun tercermin dari tingkat inflasi pada bulan Mei dan Juni sebesar 0,78% dan 0,82%. "Kalau inflasi rendah itu bukan semata-mata karena harga barangnya turun tapi karena memang permintaannya tidak ada," kata Roy kepada Katadata.co.id, Selasa (4/8).
Pemasukan industri retail pun sedikit tertekan akibat timbulnya biaya tambahan untuk menjalankan protokol kesehatan di pertokoan. Dengan omzet yang hanya tersisa 30-35% akhirnya mengikis pendapatan perusahaan.
Belum lagi dengan adanya kenaikan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta tidak adanya subsidi listrik yang dialokasikan bagi pengusaha retail. "Bahkan kredit komersial yang dipergunakan oleh beberapa anggota kami itu belum mendapatkan relaksasi," kata Roy.
Saat ini, beberapa anggota Aprindo masih menanggung kredit perbankan dengan bunga komersial sebesar 12-14%. Akibatnya, beberapa pengusaha retail memilih menutup sementara gerainya hingga kondisi keuangannya kembali stabil lantaran tak mampu menanggung biaya operasional. "Tapi kalau yang sudah dipailitkan atau mendeklarasikan pailit belum ada," kata Roy.
Oleh sebab itu, dia berharap pemerintah segera mempercepat penyaluran bantuan stimulus untuk menggerakkan konsumsi masyarakat. Pasalnya, penyaluran beberapa bantuan sosial maupun bantuan langsung tunai (BLT) dinilai masih sangat lambat.
Tercatat dari anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang jumlahnya mencapai Rp 695 triliun tingkat penyerapannya baru sekitar 20% atau setara Rp 141 triliun. "Kami berharap Satgas pemulihan ekononmi nasional dan Menteri BUMN dapat merealokasikan Rp 100 triliun melalui 15 bank itu kiranya bisa masuk juga ke retail modern," kata dia.
Pemulihan Ekonomi
Pengusaha berharap kondisi industri mulai membaik di triwulan ketiga 2020 seiring kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah. Harapan ini bisa jadi tercermin pada survei indeks ekspektasi penjualan yang dilakukan Bank Indonesia (BI) akan meningkat di level 133 poin pada Agustus dan meningkat lagi di November pada level 149 poin.
Kondisi yang sama pun terjadi pada indeks harga konsumen yang berada di level 118 poin di bulan yang sama. Dengan begitu, pertumbuhan kinerja di triwulan ketiga akan meningkat positif di angka 0% atau bahkan 2% dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional 0% sesuai dengan perkiraan Bank Dunia. "Itu semua akan hilang dikala ada gelombang kedua virus corona," ujar Roy.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kegiatan ekonomi berangsur pulih sejak pelonggaran PSBB pada Juni 2020. "Tetapi tetap di bawah normal," kata Piter.
Menurut dia, hal itu menunjukkan pertumbuhan ekonomi tetap akan negatif sepanjang 2020. Pertumbuhan ekonomi tahun ini pun diproyeksi tetap negatif selama pandemi Covid-19.
CORE memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan kedua 2020 akan berada di kisaran minus 5%. Setelah itu, pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga 2020 sebesar minus 3-4% dan triwulan IV minus 1-2%.
"Dengan demikian, keseluruhan tahun minus 2-3%," ujar dia.