Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendesak pemerintah untuk menerapkan safeguard atau tindak pengamanan atas impor produk karpet dan penutup lantai yang terbuat dari tekstil. Upaya ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan industri dalam negeri dari gempuran produk luar negeri.
Ketua Komite Karpet dan Sajadah BPN API Jivat Khiani mengatakan, sejak tahun 2017 - 2019 impor produk produk karpet dan penutup lantai tekstil terus meningkat dengan sebesar 25,2%. Kondisi tersebut memaksa produsen dalam negeri memangkas kapasitas produksinya hingga 40% sehingga kinerja industri mengalami penurunan.
"Dengan turunnya produksi maka otomatis telah terjadi pengurangan karyawan yang cukup banyak," kata Jivat melalui siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Minggu (23/8).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam tiga tahun terakhir atau 2017-2019, terjadi peningkatan volume impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya. Pada 2017, volume impor produk ini tercatat sebesar 21.907 ton, kemudian pada 2018 naik 31,0% menjadi sebesar 28.706 ton, dan pada 2019 naik 19,7% menjadi sebesar 34.357 ton.
Negara asal impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya di antaranya Tiongkok, Turki, Korea Selatan, dan Jepang. Sementara, volume impor produk terbesar berasal dari Tiongkok dengan pangsa impor pada 2017 sebesar 50,2%, kemudian pada 2018 naik menjadi 56,1%, dan pada 2019 naik menjadi 63,4%.
Jivat mengatakan pada tahun 2019, produk karpet yang berasal dari Tiongkok memiliki rerata harga US$ 2,5 dollar atau setara Rp 37.000 per kilogram (kg). Di posisi kedua adalah Turki dengan porsi 19,1% dari impor dan harga rerata produk US$ 1,36 atau Rp 23.600 per kg.
Dia menjelaskan hal tersebut menunjukkan barang yang dimpor memiliki kualitas rendah. Bahkan terbuat dari busa yang mudah terbakar dan sisa limbah industri tekstil yang tidak baik untuk kesehatan.
Jivat juga menyampaikan adanya kendala dalam disharmonisasi tarif bera masuk impor kepada bahan baku utama karpet yakni polypropilene resin yakni 10%. "Sedangkan tarif bea masuk impor untuk benang polypropilene lebih rendah yaitu sebesar 5%," kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif BPN API Rizal Tanzil Rakhman mengatakan, banyaknya impor karpet dan sajadah yang membanjiri pasar domestik, membuat industri dalam negeri berada dalam kondisi sangat kritis. Maka itu, upaya untuk memberikan safeguard perlu segera direalisasikan.
"Kami harapkan industri karpet dan sajadah dalam negeri dapat diselamatkan dan menghindari terjadinya banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif," ujarnya.
Terkait hal tersebut, Katadata.co.id mencoba mengkonfirmasi kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono dan Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Elis Masitoh melalui sambungan telepon. Namun, hingga berita ini ditayangkan belum ada jawaban dari yang bersangkutan.
Sebelumnya, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan melakukan penyelidikan safeguards atas lonjakan jumlah impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya mulai 10 Juni 2020. Impor tersebut terutama berasal dari Tiongkok.
Hal ini dilakukan setelah mendapat permohonan dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia yang mewakili industri dalam negeri pada 5 Juni 2020 lalu. Produk karpet dan penutup lantai tekstil lainnya mencakup 62 nomor Harmonized System atau HS 8 digit sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia tahun 2017.
"Dari bukti awal permohonan yang diajukan API, KPPI menemukan adanya lonjakan jumlah impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya," kata Ketua KPPI Mardjoko.