Strategi Bertahan Pengusaha Hadapi Ancaman Resesi Ekonomi

ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/wsj.
Sejumlah pekerja beraktivitas di Pabrik Garmen PT Daehan Global di Desa Cimohong, Brebes, Jawa Tengah, Jumat (29/5/2020). Pengusaha mulai mempersiapkan langkah menghadapi ancaman resesi ekonomi.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
2/9/2020, 17.19 WIB

Sejumlah pejabat pemerintah hingga kalangan ekonom memproyeksikan Indonesia akan masuk ke dalam resesi ekonomi. Para pengusaha pun mulai menyiapkan strategi guna mempertahankan bisnisnya di tengah kelesuan ekonomi. 

Salah satu cara menghadapi ancaman resesi tersebut, pengusaha harus sebisa mungkin dengan mengatur arus kas dan efisiensi biaya. "Perusahaan melakukan konsolidasi dan transformasi model bisnisnya untuk bisa bertahan," kata Shinta kepada katadata, Rabu (2/9). 

Kendati demikian, pengusaha harus tetap jeli melihat peluang dalam kondisi tersebut.

Shinta menilai, sulit untuk menghindar dari resesi ekonomi. Ia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan III akan masuk pada zona negatif, namun capaiannya lebih baik dibandingkan triwulan II 2020 yang minus 5,3%.

Pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun diperkirakan bergantung pada upaya pemerintah dalam menyalurkan stimulus pemulihan ekonomi nasional. Ia pun memperkirakan, masih ada peluang ekonomi akhir tahun tumbuh positif.

Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Diperlukan pula peningkatan efisiensi dan daya saing iklim usaha nasional untuk menarik arus modal baru yang diperlukan oleh sektor riil.

Namun dia mengakui, seluruh upaya tersebut tidak mudah dilakukan lantaran konsumsi dinilai tidak naik signifikan pada triwulan III. "Stimulus-stimulus belum didistribusikan dengan maksimal dan realisasi belanja pemerintah juga masih rendah," ujar dia.

Di sisi lain, pengendalian Covid-19 dinilai kurang optimal, sehingga sulit menambah kepercayaan pasar baik untuk melakukan kegiatan konsumsi maupun investasi.

Oleh karenanya, ia berharap pemerintah dapat fokus pada pencairan stimulus kepada masyarakat dan pelaku usaha. Dengan demikian, kepercayaan pelaku usaha untuk berinvestasi meningkat.

"Sehingga pertumbuhan 0% di akhir tahun masih realistically achievable," ujar Shinta.

Ketua Kadin Bidang Industri Johnny Darmawan pun menambahkan, resesi ekonomi telah membuat pengusaha khawatir. Pihaknyaberharap, pemerintah dapat meningkatkan permintaan dengan cara tepat.

Menurutnya, pemerintah perlu mendorong sektor industri yang memiliki permintaan di tengah pandemi, seperti industri makanan dan minuman. "Jadi kalau bisa prioritas membantu perusahaan yang ada demand. Jangan genjot pabrik yang tidak ada demand," ujar Johnny. 

Pengusaha juga menginginkan agar diberikan kemudahan berusaha untuk mendorong ekspansi bisnis, seperti izin ekspor maupun bantuan restrukturisasi modal.

Tak hanya itu, bantuan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga perlu dipercepat."UMKM dan perusahan menengah sekarang masalahnya arus kas. Mau bayar gaji karyawan, tapi tidak ada uang," katanya.

Hal lain yang tak kalah penting, pemerintah juga diminta untuk segera menangani kasus Covid-19. Langkah ini dinilia penting dan mendesak untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan masyarakat. 

Sebelumnya, sejumlah menteri  memproyeksikan ekonomi akan masuk ke jurang resesi. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Mahfud MD menilai pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga akan kembali minus.

"Bulan depan hampir dapat dipastikan 99,9% akan terjadi resesi di Indonesia," kata Mahfud. 

Pendapat ini didasarkan pengamatannya terhadap kondisi ekonomi yang semakin turun. Sebab, daya beli masyarakat belum meningkat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menilai pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga sulit bangkit. Ia menyebutkan, pertumbuhan ekonomi kuartal selanjutnya akan minus 2% sampai 0%.

“Untuk bisa masuk ke zona nol persen butuh perjuangan luar biasa berat,” kata Sri Mulyani ketika menyampaikan APBN KiTa secara daring, Selasa (25/8).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyatakan, beratnya upaya mengungkit perekonomian Indonesia terlihat dari penerimaan pajak yang masih rendah. “Ini yang lebih menggambarkan denyut ekonomi kita meski pun beberapa sektor bebas pajak,” ujarnya. 

Sepanjang semester I 2020, negara hanya mengantongi penerimaan pajak sebesar Rp 531,7,triliun, jauh di bawah target awal sebesar Rp 1.198 triliun. Ini artinya, realisasi penerimaan pajak terkontraksi hingga 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Di lain pihak, Ekonom senior INDEF, Faisal Basri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2020 akan minus 3%. Lebih baik dari kuartal kedua yang terkontraksi sebesar 5,32%. Namun, angka ini lebih dalam dari proyeksi Menkeu Sri Mulyani yang antara minus 2% sampai nol persen.

Penyebab minusnya pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga, menurut Faisal adalah konsumsi masyarakat masih lemah. Masyarakat menahan diri untuk tak berbelanja mengingat ketidakpastian ekonomi masih besar.

Sehingga, komponen penyumbang 57,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ini belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Lemahnya konsumsi, kata Faisal, bisa terlihat dari penjualan mobil yang masih minus 50% untuk periode Januari-Juli tahun ini dan pariwisata minus 80% dibandingkan tahun kemarin.

“Masyarakat meskipun ekonomi mulai membaik, terjadi perubahan pola pikir,” kata Faisal dalam Rapat Pendapat Umum bersama Komisi VI DPR, Senin (31/8).

Resesi adalah pertumbuhan ekonomi minus selama dua kuartal berturut-turut atau tumbuh melambat dalam waktu lama. Bila proyeksi Faisal terbukti, maka negeri ini resmi mengalami resesi.

 

Reporter: Rizky Alika