Posisi Industri Makanan Halal RI di Bawahi Malaysia, Perlu Pacu Ekspor

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.
Pengusaha busana wanita beralih usaha menjadi pelaku UMKM makanan olahan akibat pandemi COVID-19 di Bandung, Jawa Barat, Senin (8/6). Pelaku usaha ungkap tantangan pasar makanan halal dunia.
Penulis: Ekarina
7/12/2020, 21.17 WIB

Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar dunia. Meski demikian, peringkat industri makanan minuman Indonesia di pasar dunia masih kalah dari negara tetangga lain di ASEAN, yakni Malaysia dan Singapura.

Menurut Peringkat Indikator Ekonomi Islam Indonesia (Global Islamic Economy Indicator/GIEI) 2020, industri makanan minuman halal Indonesia berada di urutan ke empat, di bawah Malaysia di peringkat pertama, Singapura kedua dan Uni Emirat Arab (UAE) di peringkat ketiga.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S.Lukman mengatakan, kalahnya peringkat Indonesia tak lain karena faktor pencatatan data. 

"Kita baru masuk halal food pada 2020, tapi langsung masuk di 4 besar karena perbaikan manajemen dan pencatatan. Indonesa belum masuk exporting country, sehingga perlu melakukan perbaikan," katanya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan MarkPlus Inc, Senin (7/12).

Selain itu, Malaysia menurutnya sangat gencar melakukan branding, mencatat  produk makanan minuman yang diekspor dengan label halal. Sehingga membuat volumenya besar.

Ke depan, jika masalah pendataan ini diperbaiki atau disinkronisasi, kontribusi Indonesia akan lebih tinggi. Namun tak sekedar data, dia juga berharap ada peningkatan ekspor produk makanan minuman Indonesia lantaran potensi pasarnya besar.

Pertumbuhan halal market bakal terus terjadi seiring meningkatnya populasi, produk domestik bruto (GDP), hubungan keagamaan, konektivitas digital hingga ethical consumerism.

Tercatat, lebih dari 1,9 miliar penduduk muslim dunia berbelanja produk makanan halal  pada 2019 senilai US$ 1,17  miliar (sekitar Rp 16,5 triliun), tumbuh 3,1% dibandingkan 2018 yang tercatat US$ 1,13 miliar. Kenaikan rata-rata konsumsi makanan halal pada 2019-2024 diperkirakan mencapai 3,5%.

Sementara itu, lebih dari US$ 200 miliar produk makanan minuman diekspor ke negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 2019. 

Indonesia juga berpeluang merebut pangsa pasar produk makanan minuman untuk jamaah haji dan umroh di Arab Saudi. Hal ini sebetulnya sudah dilakukan tahun lalu, namun tahun ini tertunda karena tidak ada penyelenggaraan haji akibat pandemi Covid-19.

"Kami dan BPOM sudah berupaya memasok makanan haji berasal dari Indonesia,  kita sudah berhasil dan memenangkan tender, hanya sayangnya tahun ini ibadah haji tak terlaksana. Mudah-mudahan bisa berlanjut di tahun depan," katanya. 

Ketua Badan Penyelelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Sukoso, praktik konsep halal di Indonesia dilindungi Undang-Undang, terutama di Pasal 29 terkait masyarakat menjalankan perintah agama dan dilindungi.

Namun demikina, pemerintah dan pelaku usaha masih memiliki pekerjaan rumah untuk memajukan produksi produk halal lokal agar bisa ekspor.

"Jadi halal tidak melulu soal religi. Dan industri halal tidak harus soal produk, tapi sumber daya manusianya juga," ujar Sukoso.

Jepang mulai menerapkan label halal pada beberapa produknya. Namun untuk cek dan sertifikasinya, mereka lebih memilih sumber daya manusia dari negara lain selain Indonesia seperti Malaysia. Ini yang kemudian ia harapkan bisa diikuti juga oleh Indonesia.

Pengusaha lokal seperti UMKM pun menurutnya perlu didorong untuk lebih peduli dengan konsep dan label halal. Sehingga diharapkan industri halal bisa diperbesar dulu secara lokal, baru diperbesar di pasar ekspor.

Mandatory sertifikasi halal wajib diberlakukan pada 2024, dimulai dari segmen makanan dan minuman, dilanjutkan non-F&B seperti farmasi, obat-obatan hingga produk biologi.