Ada Vaksin, Neraca Dagang 2021 Diproyeksi Surplus US$ 1 Miliar

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.
Suasana Terminal 3 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/12/2020). Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pandemi COVID-19 mengakibatkan membengkaknya biaya ekspor impor ketentuan pengiriman 'cost and freight' (CNF) dan 'cost insurance and freight' (CIF) sekitar 100 hingga 200 persen dari tarif normal pada angkutan laut dan udara.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
11/1/2021, 20.14 WIB

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memperkirakan kinerja ekspor dan impor Indonesia pada 2021 akan mengalami perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara neraca perdagangan diperkirakan masih akan positif.

Perbaikan diperkirakan terjadi meskipun ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jawa Bali di Indonesia dan lockdown di berbagai negara. "Kita akan mengalami perbaikan yang signfikan 2021, terutama untuk ekspor dan impor," kata Lutfi dalam saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (11/1).

Berdasarkan Renstra Kemendag 2020-2024, neraca perdagangan pada 2021 ditargetkan mengalami surplus US$ 1 miliar. Hal ini didukung dengan ekspor riil barang dan jasa yang ditargetkan tumbuh 4,2% dan ekspor non migas tumbuh 6,3%.

Adapun rasio ekspor jasa terhadap PDB ditargetkan tumbuh sebesar 2,8%. Hal ini akan didukung dengan 25 kesepakatan perjanjian internasional.

Sentimen positif lain adalah adanya vaksinasi Covid-19. Sejumlah negara tujuan ekspor, seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Eropa, telah menargetkan pencapaian kekebalan komunitas (herd immunity) pada April 2021 mendatang. Setelahnya, kekebalan komunitas juga diperkirakan terjadi di negara berkembang pada triwulan III atau triwulan IV 2021.

Oleh sebab itu Lutfi memperkirakan perdagangan juga akan ikut membaik. "Mudah-mudahan sesuai dengan postur vaksin tersbut akan memperbaiki status ekonomi kita," ujar dia.

Berikut adalah Databoks neraca perdagangan Indonesia hingga November 2020: 

Potensi Sarang Walet

Kementerian Perdagangan pun memiliki sejumlah strategi untuk meningkatkan ekspor. Salah satunya adalah produk sarang burung walet memiliki potensi besar lantaran harganya dapat mencapai Rp 25 juta per kilogram.

"Kami mau negosiasi dengan Tiongkok supaya ekspor kita dengan harga Rp 25 juta per kilogram," kata dia.

Lutfi mencatat, ekspor sarang burung walet Indonesia sekitar 2 ribu ton per tahun. Adapun, total sarang burung walet yang dijual ke Tiongkok melalui perjanjian kerja sama hanya 110 ton. Selebihnya, sekitar 1.890 ton dijual secara bebas.

Ia memperhitungkan, bila 2 ribu ton dikalikan dengan harga ekspor sarang burung walet, total ekspor burung walet dapat mencapai US$ 8 miliar, setara dengan 45% dari total ekspor non migas Indonesia.

"Meski barang simpel, tapi bisa ke depankan barang utama. Dan ini berdayakan UMKM dengan proses sederhana," ujar dia. 

Oleh karena itu, kementeriannya akan membantu pelaku UMKM sarang burung walet untuk mendapatkan harga ekspor terbaik. Selain itu, kementeriannya juga akan mendorong kebersihan produk.

Berbagai dukungan tersebut, lanjut dia, bakal dilakukan dengan cara yang baik. "Yaitu bukan peraturan yang menyulitkan eksportir. Kami akan berdialog dengan asosiasi burung walet," ujar dia.

Selain sarang burung walet, ia juga melihat potensi ekspor batu bara bagi Indonesia. Hingga Januari-November 2020, ekspor batu bara telah menghasilkan devisa setara US$ 15,54 miliar.

Belakangan, harga batu bara telah naik sekitar 4% secara point-to-point. Ia pun memperkirakan, harga batu bara tersebtt akan semakin meningkat, terdorong oleh perang dagang Australia dan Tiongkok.

Oleh karenanya, ia akan berdiskusi dengan Kemenetrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memanfaatkan penguatan harga tersebut. Bahkan, Lutfi juga memperkirakan harga komoditas pertambangan lainnya ikut meningkat.

"Bukan hanya batu bara tapi kelihatan nikel naik, tembaga naik, dan emas," ujarnya.

Secara garis besar, Lutfi menilai adanya fenomena baru dalam perdagangan Indonesia. Sebelumnya, ekspor Indonesia masih berupa produk mentah dan setengah jadi.

Saat ini, pilar utama eskpor non migas Indonesia ialah barang industri berteknologi tinggi, seperti produk besi, baja, dan produk otomotif. 

Kondisi ini terjadi seiring dengan keterbukaan pasar Indonesia terhadap global. Dengan demikian, investasi meningkat sehingga industrialisasi juga semakin cepat. "Ini fenomena baru dan akan kita jabarkan dalam perjanjian dagang," ujar dia.

Reporter: Rizky Alika