Indonesia Impor 47 Ribu Ton Pakaian dari Cina Sepanjang 2021

ANTARA FOTO/Anis Efizudin/hp.
Ilustrasi. BPS mencatat impor pakaian sepanjang Januari-Oktober 2021 naik dari sisi volume maupun nilai dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
15/11/2021, 19.32 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor pakaian sepanjang Januari-Oktober 2021 mencapai 58,1 ribu ton senilai US$ 517,2 juta dolar atau Rp 7,34 triliun. Mayoritas atau 82% dari pakaian yang diimpor tersebut berasal dari Cina. 

Berdasarkan data BPS, impor pakaian sepanjang Januari-Oktober 2021 naik dari sisi volume maupun nilai dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Volume impor pakaian naik 15% dibandingkan Januari-Oktober 2020 sebanyak  50,5 ribu ton. Sementara nilainya, hanya naik tipis 0,33% dari tahun lalu US$ 515,5 juta.

Cina merupakan negara eksportir terbesar pakaian ke Indonesia mencapai 47,5 ribu ton atau 82% dari total impor sepanjang sepuluh bulan 2021. Impor pakaian dari Cina meningkat 18% secara volume dibandingkan tahun lalu, tetapi nilainya turun 5%.

Impor pakaian Cina berdasarkan nilainya juga hanya menyumbang 53% dari total nilai impor pakaian Januari-Oktober 2021. 

Selain Cina, impor pakaian terbesar kedua berasal dari Bangladesh dengan volume sebanyak 2,9 ribu ton atau 5% dari total impor pakaian Indonesia. Nilai impornya sebesar US$ 47 juta. Impor pakaian dari Bangladesh naik, baik dari sisi volume maupun nilainya dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kemudian, pakaian juga diimpor dari Vietnam sebanyak 1,6 ribu ton atau 3% dari total impor pakaian. Nilai impor tersebut mencapai US$ 43 juta. Sama halnya dengan Bangladesh, impor dari Vietnam naik dari sisi volume dan nilainya.

Impor barang pakaian menjadi sorotan belakangan ini setelah pemerintah menyelidiki adanya lonjakan impor pakaian dalam beberapa tahun terakhir. Penyelidikan dimulai setelah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengajukan permohonan penyelidikan kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) di bawah Kementerian Perdagangan pada 9 September tahun lalu.

Usulan tersebut juga telah memperoleh notifikasi di bawah artikel 12.1 (B) tentang perjanjian pengamanan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Melalui notifikasi tersebut pemerintah telah meneruskan kepada WTO tentang adanya temuan ancaman terhadap industri dalam negeri akibat lonjakan impor pakaian dan aksesorinya.

Pemohon dalam hal ini API mengajukan gugatan sebagai perwakilan atas 278 perusahaan di bidang tekstil. Para pemohon tersebut menyumbang 55% dari total produksi pakain dan aksesori pakaian nasional tahun 2019.

Berdasarkan perhitungan pemohon sebagaiamana Dokumen Bukti Awal Permohonan Penyelidikan yang dirilis KPPI, kinerja usaha dari pemohon atau ratusan usaha tersebut terus turun seiring melonjaknya impor pakaian sepanjang 2017-2019. Dari sisi produksi, indeks kinerjanya turun 6,27% dalam tiga tahun, indeks penjualan domestik juga turun 7,02%, serta produktivitas turun 1,47%.

Indeks lainnya yaitu dari kapasitas terpasang turun 0,82%, kapasitas terpakai juga turun 5,5%, indeks tenaga kerja juga turun 4,87%, serta indeks keuntungan turun 24,14%. Sementara indeks persediaan justru naik 69,25%.

KPPI kemudian menyelidikai impor untuk tujuh jenis pakaian dan aksesorinya. Dari hasil penyelidikan tersebut menunjukkan adanya kenaikan impor secara konsisten dalam tiga tahun berturut-turut. Pada tahun 2017 sebesar 44,095 ton, kemudian naik 10,04% menjadi 48.522 ton pada tahun 2018. Kenaikan berlanjut sebesar 8,29% menjadi 52.546 ton pada tahun 2019.

Adapun negara asal impor pakaian tersebut mayoritas dari Cina sebanyak 74,61% dari total volume impor tahun 2019. Kemudian disusul Bangladesh 5,94%, Vietnam 3,43% dan Singapura 3,11%.

Potensi kerugian tersebut yang kemudian mendorong Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan baru berupa pengenaan bea masuk tambahan untuk impor pakaian dan aksesorinya. Kebijakan ini mulai berlaku sejak akhir pekan lalu dan dikenakan untuk sejumlah jenis pakaian.

"Bahwa sesuai dengan laporan akhir hasil penyelidikan KPPI terbukti adanya ancaman kerugian serius yang dialami industri dalam negeri disebabkan oleh lonjakan ju1nlah in1por produk pakaian dan aksesori pakaian," demikian tertulis dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 142/PMK.010/2021 seperti dikutip Katadata.co.id, Senin (15/11).

Meski begitu, pemerintah juga memberlakukan ketentuan pengecualian pengenaan tambahan tarif untuk beberapa jenis syal, scarf, muffler, mantilla, veil dan sejenisnya baik berbahan rajutan atau kaitan maupun bukan. Ini khusunsya yang diimpor dari 122 negara yang ditetapkan. Kendati demikian, Cina tidak masuk dalam daftar negara pengecualian tersebut.

Reporter: Abdul Azis Said