Ombudsman Republik Indonesia (ORI) merekomendasikan agar pemerintah mencabut tiga aturan untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng (migor) di pasar, yakni kewajiban pasar domestik (DMO), kewajiban harga domestik (DPO), dan harga eceran tertinggi (HET) bagi migor kemasan sederhana dan migor kemasan premium.
Anggota ORI Yeka Hendra Fatika mengatakan ketiga aturan itu membuat disparitas antara minyak goreng domestik dan internasional. Disparitas ini yang membuka peluang penyelundupan dan penyelewengan migor di lapangan.
"Ombudsman melihat akar permasalahan terjadinya kelangkaan minyak goreng ini adalah karena tingginya disparitas antara harga DPO, HET, dan harga pasar (internasional). Disparitas itu berkisar antara Rp 8 ribu sampai Rp 9 ribu," kata Yeka dalam konferensi pers virtual, Selasa (15/3).
Ombudsman mengawasi harga, kepatuhan HET, dan ketersediaan migor pada empat jenis tempat belanja di 274 titik. Keempat jenis tempat belanja yang dimaksud adalah ritel modern, pasar modern, ritel tradisional, dan pasar tradisional.
Mereka menemukan bahwa ketersediaan migor curah pada 15 Maret 2022 naik 2,5% dibanding realisasi 22 Februari 2022. Adapun, ketersediaan minyak goreng kemasan sederhana susut 12,7%, dan premium turun 31,11%.
Kondisi ini menyebabkan kenaikan harga jual di ritel tradisional. Ombudsman menemukan rata-rata harga migor curah di ritel tradisional mencapai Rp 15,5 ribu, migor kemasan sederhana sekitar Rp 16 ribu, sedangkan migor kemasan premium mencapai Rp 20,5 ribu.
Yeka mencatat pulau dengan rata-rata harga migor tertinggi terjadi di Pulau Sumatra atau di rentang Rp 13.650 - Rp 25.100. Sementara itu harga migor tertinggi ada di kawasan Bali dan Nusa Tenggara, yakni migor premium senilai Rp 32 ribu per liter di pasar tradisional.
Yeka menyebutkan kepatuhan HET di pasar tradisional terlampau rendah atau turun dari 12,8% pada 22 Februari 2022 menjadi 4,22% per 14 Maret 2022. Pada saat yang sama, kepatuhan pada tempat belanja lain naik, seperti ritel tradisional menjadi 74,19%, pasar modern jadi 78,98%, dan ritel modern menjadi sekitar 74%.
"Artinya, di pasar tradisional masih banyak pelaku usaha yang menjual minyak goreng di atas HET," ujar Yeka.
Yeka menilai aturan DMO dan HET menyebabkan komplikasi pada kondisi migor di lapangan. Salah satu komplikasi yang dimaksud adalah peningkatan pembelian migor oleh Rumah Tangga dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Yeka berpendapat hal ini disebabkan oleh ketakutan konsumen akan minimnya ketersediaan migor di lapangan. Adapun, ketersediaan migor disinyalir akibat oknum spekulan yang menahan distribusi migor ke pasar.
Penahanan distribusi itu dilakukan untuk mendapatkan margin dari disparitas harga antara harga HET dan harga migor. Pada saat yang sama, ORI menilai pemerintah telah gagal melakukan fungsi pengawasan dari implementasi aturan HET.
"Secara historikal, bagaimana pemerintah kita menstabilkan ketersediaan bahan bangan pokok? Pengawasan tidak akan terjadi kalau disparitas harga besar," kata Yeka.
Oleh karena itu, Yeka menyarankan agar Kemendag mulai mengevaluasi efektivitas aturan DMO, DPO, dan HET. Menurutnya, 1,5 bulan merupakan waktu yang cukup untuk menguji efektivitas sebuah regulasi.
Yeka mengusulkan agar ketiga aturan itu dicabut, kecuali HET untuk migor curah. Yeka menilai hal ini penting untuk menjaga keterjangkauan migor bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan dicabutnya kebijakan DMO, DPO, dan HET, harga minyak goreng akan mengikuti harga internasional. Pada saat yang sama, Yeka mengajukan agar masyarakat miskin atau di sekitar garis kemiskinan diberikan bantuan langsung tunai oleh pemerintah.
"Pilihan negara (saat ini) terbatas dan Ombudsman memilih pemerintah mengutamakan kelompok rentan, yaitu yang miskin dan pedagang UMKM," kata Yeka.