BPS Jelaskan Pangkal Soal Kisruh Data Stok Beras Kementan dengan Bulog
Badan Pusat Statistik atau BPS buka suara soal kisruh perbedaan data stok beras dengan Badan Urusan Logistik (Bulog). Data BPS yang menjadi acuan Kementerian Pertanian menganggap stok beras nasional melimpah atau surplus.
Sebaliknya Bulog menganggap stok beras dalam keadaan kritis. Bulog kesulitan menyerap gabah dan beras dari petani sehingga tak bisa memenuhi cadangan 1,2 juta ton.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS Muhammad Habibullah mengatakan terdapat perbedaan mengumpulkan data antara BPS-Kementan dan Bulog.
BPS melakukan survei neraca beras berdasarkan area yang sudah disepakati oleh banyak pihak mulai dari Kementan dan Badan Pangan Nasional.
"Kalau kita lihat data yang dihasilkan dari BPS, perkiraan konsumsi itu sebesar 2,5 juta ton per bulan yakni pada bulan-bulan tertentu surplus terutama pada bulan panen," ujar Habibullah.
Dari hasil survei itu, BPS menyimpulkan stok beras dalam keadaan surplus pada periode 2019 sampai dengan Juni 2022.
"Jadi suplus kalau dikurangi antara konsumsi dengan produksi," kata dia.
Habibullah juga menjelaskan perbedaan data antara Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional. Sebelumnya Kementerian Pertanian menyatakan bahwa stok beras saat ini mencapai 8-9 juta ton. Adapun Badan Pangan Nasional menyatakan bahwa data stok beras saat ini mencapai 6,2 juta ton.
Terkait perbedaan itu, Habibullah menyatakan, kedua lembaga pada awalnya menggunakan data produksi dari BPS. Namun, kemudian masing-masing lembaga memperbaharui data masing-masing dengan cara yang berbeda-beda.
Dia menyebutkan saat ini antar lembaga sedang berembuk menyusun neraca komoditas. "Teman-teman dari Bapanas dan Kementan mencoba menyusun neraca komoditas, saya hadir untuk memaparkan persoalan itu dan tidak ada masalah," ujar Habibullah.
BPS Tak Punya Data Real Time Beras
Menanggapi perbedaan data antar lembaga pemerintah, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas, mengatakan meski data produksi beras BPS menjadi rujukan, tapi belum ada data real time stok beras.
Dia mengatakan, belum adanya data stok beras secara real time ini menyebabkan setiap lembaga melakukan surveinya masing-masing. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan data stok beras antar lembaga pemerintah.
"Saya memahami data stok ini relatif sulit karena mengukur beras yang ada di pedagang dan rumah tangga. Karena belum ada di BPS, setiap lembaga memiliki melakukan survey sendiri dan memiliki persepsi yang berbeda terkait itu," ujarnya.
Namun demikian, Dwi Andreas menolak jika Indonesia harus melakukan impor beras untuk memenuhi CBP Bulog. Menurut dia, proses impor membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 2-3 bulan.
Jika pemerintah memutuskan impor sekarang, kemungkinan barang dari luar negeri baru akan datang ke Indonesia sekitar Februari 2023. Di saat bersamaan, petani akan memasuki panen raya sehingga akan mempengaruhi harga jual.
"Kalau impor sekarang tidak ada manfaatnya. Memang jumlahnya kecil, tapi akan mempengaruhi psikologis sehingga harga gabah petani bisa anjlok," ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor beras sebanyak 301,7 ribu ton pada periode Januari-Oktober 2022. Jumlah tersebut susut 20,4 juta ton (6,34%) dibanding Januari-Oktober 2021.
Kemudian nilai impor beras nasional periode Januari–Oktober 2022 mencapai US$137,42 juta, turun 5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun demikian, impor tersebut merupakan kategori beras khusus yang digunakan oleh kalangan tertentu atau restoran.
Seperti terlihat pada grafik, dalam tiga tahun terakhir volume impor beras Indonesia mencapai level tertinggi pada kuartal III 2022, yakni 162,22 ribu ton. Jumlah tersebut melonjak 116% dibanding kuartal sebelumnya, serta naik 76,3% dibanding kuartal III tahun lalu.