Harga Sawit Anjlok Jelang Penerapan Aturan Bebas Deforestasi Uni Eropa

ANTARA FOTO/Muhammad Izfaldi/rwa.
Pekerja mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas mobil di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Senin (27/3/2023).
29/3/2023, 13.42 WIB

Harga tandan buah segar atau TBS sawit anjlok jelang penerapan kebijakan Undang-Undang anti Deforestasi Uni Eropa mulai Mei 2023. Ketua Umum Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia atau Apkasindo Gulat Manurung mengatakan kebijakan tersebut bisa mematikan petani sawit.

"Dampaknya ini sudah sangat terasa kepada harga TBS kami. Sebelumnya harga TBS kami Rp 3.000 per kilogram (kg), saat ini menurun menjadi hanya Rp 1.800-2.000 per kg," ujarnya saat ditemui awak media, usai unjuk rasa di Gedung Menara Astra, Jakarta, Rabu (29/3).

Gulat mengatakan, kebijakan tersebut juga berdampak kepada harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di tingkat petani. Dia menyebutkan saat ini harga CPO hanya mencapai Rp 11.800 per kg. Angka tersebut menurun dari yang sebelumnya sebesar Rp 14.000 per kg.

Menurut Gulat, penurunan harga CPO tertahan oleh program B35. Pasalnya program tersebut dapat menyerap CPO yang seharusnya di ekspor. 

“Kemarin harga CPO terus menjadi naik karena adanya program B35, pasalnya serapan domestik bisa seimbang dan lebih baik. Untungnya ada program ini, kalau tidak ada program B35 dan UU anti Deforestasi tetap dijalankan, selesai akan kacau harga sawit,” ujarnya .

Petani Demo

Sebanyak 50 perwakilan petani sawit dari 22 provinsi di Indonesia melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Astra, Jakarta, Rabu (29/3) pukul 09.30 WIB. Mereka menolak Undang-undang atau UU anti Deforestasi Uni Eropa. Para petani sawit tersebut juga memberikan petisi ke Kantor Kedutaan Besar Uni Eropa. 

Petani sawit tersebut tergabung dalam lima organisasi masyarakat yaitu Santri Tani Nahdhatul Ulama, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR, Asosiasi Sawitku Masa Depanku, Forum Mahasiswa Sawit. 

Mereka yang melakukan Aksi Keprihatinan tersebut berasal dari 22 provinsi di seluruh Indonesia, di antaranya ada yang dari Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Riau, Nusa Tenggara Timur, Aceh, hingga Banten.

Undang-undang anti Deforestasi ditujukan untuk melindungi hutan dengan mengatur secara ketat penjualan produk minyak sawit. Dalam undang-undang anti deforestasi disebutkan bahwa kelapa sawit adalah tanaman beresiko tinggi dan semua produk minyak sawit yang akan masuk ke Uni Eropa harus melalui sertifikasi konsultan internasional.  

Gulat mengatakan, adanya unjuk rasa ini bertujuan agar Uni Eropa setidaknya bisa merevisi atau mencabut undang-undang anti Deforestasi tersebut. Jika tetap dijalankan, UU tersebut tidak hanya berdampak pada petani namun seluruh Indonesia. 

“Ketentuan itu tentu saja sangat mempengaruhi salah satu produk andalan Indonesia yaitu kelapa sawit, mari kita bela sawit negara kita” ujarnya.

Aturan deforestasi dan degradasi hutan akan diberlakukan mulai Mei-Juni 2023. Namun, regulasi ini baru akan mulai efektif pada Desember 2024 untuk perusahaan dan Juni 2025 untuk UMKM.

Peraturan antideforestasi UE menyasar kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kedelai, ternak, kayu, karet, arang, dan kertas cetak. Begitu juga dengan produk-produk turunan dari komoditas-komoditas tersebut, seperti daging, kulit, mebel, dan coklat.

Minyak sawit memang menjadi komoditas Indonesia yang paling banyak masuk ke Uni Eropa. Porsinya bisa mencapai 83,3% dari seluruh komoditas lainnya. Selain itu, ada juga produk kayu (8,4%), karet (6,5%), kopi (1,3%), kakao (0,5%), kedelai (0,1%), dan daging sapi (0,1%). 

USDA memproyeksikan produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023. Indonesia merupakan minyak sawit terbesar dunia.

Reporter: Nadya Zahira