BRI & Pegadaian Indonesia Coffee Festival (ICF) yang berlangsung pada 5 - 7 Mei 2023 di Jakarta menghadirkan berbagai kebutuhan individual maupun bisnis terkait kopi. Selain berkolaborasi dengan ratusan merek, kegiatan ini juga menghadirkan beragam acara yang dapat memperkuat jaringan bisnis.
ACara tersebut tak hanya mengadakan kejuaraan barista, kejuaraan brewer, dan cup tasters. Ada pula program lain, seperti speed-dating dengan investor, best booth award, people’s choice menu, sajian kopi terbaik Indonesia, dan lain-lain.
BRI & Pegadaian ICF 2023 dihadiri Menteri BUMN Erick Thohir. Ia sempat mengutarakan, upaya mendukung ekosistem industri kopi tak terlepas dari visi industrialisasi pangan yang dicanangkan pemerintah. Hal ini merupakan salah satu upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Erick mengatakan, selain industrialisasi pangan, upaya menopang pertumbuhan ekonomi lainnya melalui hilirisasi sumber daya alam dan penguatan ekonomi kreatif. Terkait industrialisasi pangan, khususnya soal penguatan ekosistem kopi nasional, memang perlu digalakkan. Ini terkait erat dengan kontribusi konsumsi domestik terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Harus ada industrialisasi, yang mana seluruh stakeholders bekerja sama sehingga kualitasnya bagus. Sehingga ada nilai tambah. Itu bisa lakukan dengan hilirisasi dan domestic consumption. Jadi saya mendukung ekosistem kopi ini,” katanya.
Solusi ekosistem kopi nasional, imbuhnya, ialah melalui penguatan industri kopi secara langsung dari hulu hingga hilir oleh BUMN. Guna mengembangkan industri kopi Indonesia salah satunya melalui skema Program Makmur Kopi yang dilakukan oleh semua pelaku ekosistem Kopi Indonesia di PMO Kopi Nusantara dengan BRI sebagai salah satu stakeholders utama.
“Saya di BUMN mengajak teman-teman untuk menjadi solusi. Terciptalah ini, supaya terintegrasi semua stakeholders,” imbuh Erick.
Di dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama BRI Sunarso menjelaskan, Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia penghasil kopi. Indonesia menyumbang 6,6 persen produksi kopi dunia, ini berada di bawah Brasil, Vietnam, dan Kolombia.
Mantan Dirut Pegadaian, yang berhasil menginisiasi The Gade Coffee Shop dan Gade Emas, tersebut menyebutkan pula bahwa sektor hulu bisnis kopi akan terus tumbuh dan berkembang, baik di pasar domestik maupun secara global. Kemudian di sektor hilir revenue kopi global diproyeksikan akan terus meningkat.
Sunarso juga membahas soal pentingnya peningkatan nilai tambah komoditas tersebut melalui industrialisasi kopi. Saat ini, rata-rata produksi kopi nasional sekitar 600 kg per hektar per tahun. Padahal, normalnya mencapai 1,5 ton - 2 ton per hektar per tahun.
Kemudian, imbuhnya, jika dilakukan penjualan dalam bentuk biji kopi akan menjadi 500 kg saja. Harga jualnya sekitar Rp15 juta. Jika produksi dalam biji kopi yang sudah disangrai maka akan susut menjadi 350 kg, tapi nilai jualnya menjadi Rp45 juta.
Apabila dijadikan bubuk maka akan menjadi 340 kg saja dengan nilai jual meningkat sekitar Rp50 juta. Dan jika kopi bubuk ini dijual dalam bentuk cup siap minum akan menjadi sekitar 57.000 cup yang nilai jualnya dapat mencapai sekitar Rp850 juta.
“Jadi adalah penting bagi kita semua untuk tahu persis sebenarnya nilai tambah kopi itu ada di fase mana. Dan berapa besar nilai tambahnya, lalu ke mana kita harus fokuskan energi kita untuk meningkatkan nilai tambah kopi kita,” ujar Sunarso.
Menurutnya penting agar kopi dari Indonesia dijual dalam bentuk cup bermerek dari Tanah Air. Jangan sampai kopi dari Indonesia, ketika masuk ke pasar global dibubuhi merek luar negeri. “Ini tantangan sekaligus masalah yang harus kita jawab bersama, karena itu perlu kita sepakati visi kopi Indonesia ke depan. Visinya adalah ‘Menjual Kopi Dengan Nilai Tambah yang Maksimal’,” ucapnya.
Guna mendukung aspirasi tersebut, BRI melakukan pemetaan strategi. Pertama, dari sisi on farm atau di ladang yang dibutuhkan mulai dari analisis tanah, rekomendasi dan penyediaan pupuk, benih hingga pestisida. Bahkan, jika perlu bebas dari pestisida menjadi kopi organik.
“Kedua, butuh teknologi untuk mekanisasi pertanian. Tentu dengan pendampingan agronomis dan budidaya. Ketiga, begitu panen masuk fase off-farm maka harus ada pengolahan pascapanen, pemberian modal kerja seperti KUR, distributor financing, kemudian menyediakan off taker, kemudian capacity building dan workshop,” tutur Sunarso.
Ia melanjutkan, yang keempat, untuk membangun ekosistem bisnis yang berkelanjutan harus ada project leader untuk supervisi bisnis hingga koordinasi kegiatan. “Hal ini pun perlu disokong oleh berbagai pihak diantaranya banking dan financial institution untuk pendanaan. Kemudian penguatan sarana produksi, teknologi research and development, perlu adanya pendampingan budidaya dan off taker, dan harus di-cover asuransi supaya untung dan aman”, ujarnya.