Institute for Demographic and Poverty Studies atau IDEAS memperkirakan, nilai ekonomi dari kegiatan kurban tahun ini berpotensi mencapai Rp 24,5 triliun. Perkiraan kenaikannya tidak setinggi tahun lalu karena daya beli masyarakat kemungkinan tertekan oleh harga-harga barang dan jasa yang menanjak alias inflasi tinggi.
Nilai ekonomi kurban tahun ini naik tipis 0,8% dibandingkan tahun lalu. Kenaikannya tak setinggi 2022 yang berhasil tumbuh 9%.
Direktur IDEAS Yusuf Wibisono mengatakan, kenaikan nilai itu lebih dipengaruhi kenaikan harga alih-alih animo masyarakat untuk ikut berkurban. Jumlah masyarakat yang berkurban tahun ini diperkirakan turun 4% dari tahun lalu menjadi 2,08 juta orang.
Yusuf menyebut, lesunya kurban tahun ini tidak lepas dari efek resesi global yang membuat pemulihan ekonomi setelah Covid-19 masih lemah meski mobilitas masyarakat semakin ramai.
"Melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga pangan dan energi, menyebabkan kami mengambil estimasi kurban yang konservatif," kata Yusuf dalam keterangannya, Rabu (28/6).
Proyeksi IDEAS terhadap nilai ekonomi kurban itu dengan asumsi jumlah sapi atau kerbau yang dikurbankan sebanyak 505 ribu ekor dan 1,23 juta ekor kambing atau domba. Jumlah tersebut turun dibandingkan tahun lalu masing-masing sebesar 6% untuk kambing dan 3% untuk sapi.
Nilai kurban kambing diperkirakan sebesar Rp 7,4 triliun, sedangkan sapi diperkirakan mencapai dua kali lipatnya meski secara jumlah jauh lebih sedikit.
Daging sapi yang dihasilkan dari kurban secara berat juga jauh lebih banyak. IDEAS memperkirakan daging kurban mencapai 103 ribu ton pada tahun ini, lebih dari 80% berasal dari daging sapi dan kerbau.
Adapun secara spasial, Yusuf memperkirakan potensi kurban terbesar datang dari Pulau Jawa. Ini terutama wilayah aglomerasi dimana mayoritas kelas menengah muslim dengan daya beli tinggi berada.
"Potensi kurban Jawa terbesar datang dari Jabodetabek, diikuti Bandung Raya, Surabaya Raya, Yogyakarta Raya, Malang Raya dan Semarang Raya," ujarnya.