Sandiaga: Merger Bandara dan Maskapai akan Bantu Industri Pariwisata

ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/Spt.
Wisatawan mancanegara (wisman) berwisata mengunjungi kawasan Pantai Batu Bolong di Badung, Bali, Senin (8/1/2024). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menargetkan 9,5 juta -14,3 juta kunjungan wisman ke Indonesia sepanjang tahun 2024.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
22/1/2024, 19.57 WIB

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memperkirakan performa industri penerbangan nasional akan meningkat dan mendorong industri pariwisata tahun ini. Hal tersebut didorong oleh dua aksi penggabungan atau merger, yakni antara otoritas bandara dan antar maskapai.

Merger tersebut dilakukan antara PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II. Sementara itu, maskapai yang akan dimerger adalah PT Pelita Air Service dan PT Citilink Indonesia.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno menilai dua aksi korporasi tersebut akan meningkatkan frekuensi penerbangan. Menurut dia, merger AP I dan AP II akan menekan biaya pelayanan operasional di bandara.

"Sementara itu penggabungan anak usaha PT Pertamina dan PT Garuda Indonesia Tbk ini kami harapkan akan berbuah penambahan jumlah pesawat yang signifikan," kata Sandiaga di kantornya, Senin (11/1).

Sandiaga menghitung jumlah pesawat yang kini beroperasi di dalam negeri adalah 400 unit, sedangkan target pemerintah adalah 700 unit pada 2025. Ia menilai, merger antara Pelita dan Citilink dapat menambah jumlah pesawat lokal menjadi lebih dari 500 unit.

Namun, Sandiaga mengatakan jumlah pesawat di dalam negeri memerlukan waktu hingga dua tahun untuk mendekati 600 unit. Ini karena banyak yang sedang mengantre pesawat produksi Boeing maupun Airbus.

"Peningkatan frekuensi dan jumlah pesawat ini akan mendorong industri pariwisata bergairah karena harga tiket bisa semakin terjangkau," ujarnya.

Sandiaga mencatat, penyebab tingginya harga tiket pesawat saat ini adalah minimnya jumlah pesawat, frekuensi penerbangan, dan ketersediaan kursi. Di samping itu, ia menemukan peningkatan biaya bahan bakar dan biaya penunjang lainnya menjadi faktor tambahan.

Menurut Sandiaga, kombinasi tersebut membuat harga tiket pesawat tinggi, khususnya di bagian timur Indonesia. Hal ini berdampak pada industri pariwisata pada tahun lalu.

Di sisi lain, meningkatnya biaya operasional membuat Kementerian Perhubungan mengkaji tarif batas atas atau TBA tiket pesawat. Sandiaga mengatakan, beberapa maskapai memang telah menyampaikan usulan tersebut ke pemerintah.

"Mungkin perlu ditinjau ulang bagaimana rezim perhitungan operasi penerbangan agar menghubungkan beberapa destinasi wisata dengan hub di Bali," katanya.

Reporter: Andi M. Arief