Pengusaha Pilih Tak Kerek Harga Meski Biaya akan Naik akibat Bunga BI

ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Ilustrasi. Pengusaha mempertimbangkan daya beli masyarakat yang masih lemah.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
25/4/2024, 16.01 WIB

Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia memastikan belum berencana menaikkan harga jual produk makanan dan minuman meski komponen biaya akan meningkat akibat pelemahan rupiah dan kenaikan suku bunga. Pengusaha terpaksa menahan harga karena menilai daya beli masyarakat masih rendah.

Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman mengatakan, pelemahan rupiah dan kenaikan suku bunga acuan menjadi 6,25% akan menekan arus kas seluruh pabrikan makanan dan minuman. Walau demikian, menurut dia, semua pabrik masih melihat kondisi perekonomian sebelum meneruskan peningkatan beban produksi tersebut ke konsumen.

"Kondisi lagi berat karena daya beli masyarakat lagi rendah, khususnya kelas menengah ke bawah. Kalau kami naikkan harga, performa penjualan justru akan terpukul," kata Adhi dalam Halal Bihalal Kementerian Perdagangan, Kamis (25/4).

Adhi khawatir, langkah Bank Indonesia untuk menahan pelemahan rupiah tidak berhasil. Salah satu alasan BI menaikkan suku bunga acuan adalah menstabilkan kurs rupiah.

Ia berpendapat peningkatan suku bunga acuan justru menjadi beban tambahan bagi pabrikan. Ini karena berdasarkan data, mayoritas pendanaan pabrik makanan dan minuman berasal dari kredit perbankan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W Kamdani memahami Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan untuk menekan pelemahan rupiah selama dua minggu terakhir. Menurutnya, langkah tersebut dapat mempercepat stabilitas rupiah yang mengkhawatirkan.  

Nilai tukar rupiah ditutup menguat 0,4% ke level Rp 16.155 per dolar AS pada hari ini, Rabu (24/4). Meski menguat dibandingkan kemarin, rupiah melemah 360 poin atau 2,2% dibandingkan posisi 25 Maret 2024 di level Rp 15.795 per dolar AS.

"Namun, BI perlu memperhatikan kebijakan kenaikan suku bunga acuan menjadi instrumen kebijakan last resort dan tidak dilakukan terlalu sering," kata Shinta kepada Katadata.co.id, Rabu (24/4).

Shinta menekankan, kelancaran arus pendanaan pada sektor riil agar dapat memiliki kinerja yang baik. Menurutnya, hal tersebut penting agar daya saing produk manufaktur nasional dapat terjaga di pasar lokal maupun internasional.

Shinta menyampaikan, kenaikan suku bunga acuan menambah beban eksisting pengusaha, seperti kondisi geopolitik yang menekan potensi investasi dan perluasan usaha. "Mungkin beban-beban terhadap penciptaan dan perluasan kinerja usaha, investasi, dan ekspor harus ditingkatkan efisiensinya, bukan ditambah," katanya.

Reporter: Andi M. Arief