MK Kabulkan Sebagian Permohonan Buruh Soal UU Cipta Kerja

ANTARA FOTO/Fauzan/tom.
Sejumlah buruh menyalakan suar saat berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (24/10/2024). Mereka meminta pemerintah untuk menaikkan upah minimum tahun 2025 sebesar 8 hingga 10 persen serta menuntut pencabutan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan dan perlindungan petani.
Penulis: Antara
Editor: Sorta Tobing
31/10/2024, 19.19 WIB

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (31/10).

MK mengabulkan pengujian konstitusional 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang dimohonkan oleh Partai Buruh. Lalu, satu pasal yang dimohonkan tidak dapat diterima, sedangkan permohonan selain dan selebihnya ditolak karena tidak beralasan menurut hukum.

Pokok permohonan yang dikabulkan MK tersebut berkenaan dengan norma Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4; Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12; Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13; Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18; Pasal 79 ayat (2) huruf b dan Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25; Pasal 88 ayat (1), Pasal 88 ayat (2), serta Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27.

Kemudian, Pasal 88C, Pasal 88D ayat (2), Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28; Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31; Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33; Pasal, 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36; Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39; Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40; Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49; dan Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU Cipta Kerja.

Sementara itu, satu pokok permohonan yang tidak dapat diterima adalah berkenaan dengan norma Pasal 156 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 47 UU Cipta Kerja. MK tidak dapat menerima karena pokok permohonan terkait pasal dimaksud bersifat prematur.

Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Para pemohon mengajukan 71 poin petitum yang terdiri dari tujuh klaster dalil, yakni dalil mengenai penggunaan tenaga kerja asing (TKA), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja alih daya (outsourcing), cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon (UP), uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan putusan ini merupakan kemenangan rakyat. "UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan, sudah lumpuh mulai hari ini," ujarnya di Gedung MK, Jakarta. 

Tidak ada perbedaan pendapat antara majelis hakim konstitusi dalam sidang putusan uji materiil UU Cipta Kerja tersebut. Sembilan hakim konstitusi menyatakan 21 pasal dalam UU Cipta Kerja tidak berkekuatan hukum lagi.  "Dengan kata lain, klaster ketenagakerjaan dalam undang-undang tersebut inkonstitusional," kata Said.

Said mencatat sekitar 10% dari permohonan para serikat buruh tidak dikabulkan majelis hakim. Contohnya, para buruh meminta uang pengganti hak saat terkena pemutusan hubungan kerja tidak hanya uang penghargaan masa kerja.

"MK berpendapat permohonan itu masih perlu dikaji ulang. Ini maksud saya, belum jelas pasalnya inkonstitusional atau tidak," katanya.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tidak memiliki tafsiran lain, selain putusan MK, dalam memahami putusan uji materi UU Cipta kerja. Tafsir yang berbeda, menurut Said, hanya memicu demonstrasi besar, seperti yang terjadi pada UU Pilkada. 

Reporter: Andi M. Arief