Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo mengingatkan pemerintah tidak memasukkan kepentingan politik dalam penetapan upah minimum tahun depan. Hal tersebut dinilai akan merugikan anggaran negara dalam jangka panjang.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam memahami penentuan upah minimum sering kali sarat dengan pertimbangan politik. Ini karena penentuan upah minimum akan beririsan dengan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak 2024 pada 27 November 2024.
"Kami akui penyesuaian upah minimum tahun depan akan ada keputusan politik, tapi jangan terlalu politis. Pemerintah harus mempertimbangkan tenaga kerja yang kini berada di sektor informal," kata Bob di Jakarta Selatan, Kamis (7/11).
Bob menjelaskan upah minimum hanya akan diberlakukan oleh pengusaha di sektor formal yang hanya 40% dari total usaha di dalam negeri. Sementara itu, 60% tenaga kerja di sektor informal umumnya tidak mematuhi aturan tersebut.
Formula penghitungan upah minimum dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan telah dianggap tidak berlaku. Ini karena Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Pasal 88D Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja tidak memiliki kekuatan hukum.
Rumus upah minimum dalam PP No. 51 Tahun 2023 adalah inflasi ditambah hasil pengalian antara pertumbuhan ekonomi dan alfa. Rentang alfa, sesuai aturan, adalah 0,1 sampai 0,3.
Kementerian Ketenagakerjaan kemungkinan tetap menggunakan formula yang sama dengan PP No. 51 Tahun 2023. Namun, besaran alfa yang akan digunakan masih dibahas oleh pemerintah, buruh, dan pengusaha sejak akhir pekan lalu.
Pengusaha berharap agar alfa dalam formula baru sama dengan PP No. 51 Tahun 2023. Dengan demikian, Bob menghitung kenaikan upah minimum pada 2025 maksimum 3,5%.
Bob menilai kenaikan upah tersebut akan menurunkan ambang batas bawah bagi usaha informal untuk naik level menjadi usaha informal. Dengan demikian, tenaga kerja di sektor informal akan memiliki perlindungan yang cukup, seperti asuransi ketenagakerjaan dan asuransi kesehatan.
"Pemerintah harus luas melihat bidang ketenagakerjaan. Penetapan upah ideal tidak boleh diambil pemerintah, tapi harus ditetapkan bersama antara pengusaha dan serikat kerja di sebuah perusahan," ujarnya.
Ketua Komite Pengupahan APINDO Subchan Gatot mengatakan, formula pengupahan telah berubah selama tiga kali dalam 10 tahun terakhir. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi akan kembali mengubah aturan formula penyesuaian upah minimum.
Ketentuan terkait pengupahan pertama kalinya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Namun beleid tersebut belum mengatur formula penyesuaian upah minimum.
Upah minimum baru pertama kalinya diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan formula penyesuaian upah minimum baru terbit 15 tahun setelahnya dalam PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Formula besaran kenaikan upah minimum dalam PP No. 78 Tahun 2015 adalah jumlah dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Formula tersebut diubah melalui PP No. 36 Tahun 2021 setelah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terbit.
Formula upah minimum diganti menjadi rata-rata konsumsi per kapita dikalikan jumlah anggota rumah tangga. Hasil pengalian tersebut dibagi dengan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja di setiap rumah tangga.
PP No. 36 Tahun 2021 akhirnya tidak berlaku pada awal 2023 setelah UU No. 11 Tahun 2020 dinilai inkonstitusional oleh Mahkamah Agung. Formula upah minimum kembali berubah terakhir kalinya dengan terbitnya PP No. 51 Tahun 2023 setelah pemerintah menerbitkan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
"Pada tahun ini kami tidak tahu formal seperti apa lagi yang akan ditetapkan. Dnegan demikian, formula upah minimum berubah empat kali dalam 10 tahun terakhir," ujarnya.
Subah mencatat upah minimum telah naik sebesar 70% selama 10 tahun terakhir. Pada periode yang sama, perekonomian nasional telah naik 42% dengan inflasi sebesar 36%. Dengan kata lain, rata-rata kenaikan upah minimum secara riil sekitar 3,8% per tahun selama 10 tahun terakhir.
Subhan menilai formula dalam PP No. 51 Tahun 2023 menjadi yang paling ideal selama 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, Subhan mendorong agar pemerintah menentukan upah minimum tahun depan secara luas.
"Kalau ternyata alfa akhirnya diubah oleh pemerintah, artinya penghitungan upah minimum sudah tidak pakai landasan atau hanya berdasarkan politik dan perasaan," katanya.
Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesi Kahar S Cahyono mencatat, pemerintah mengajukan pendekatan nilai alfa dibagi sesuai dengan jenis industri. Pemerintah mengajukan alfa untuk industri padat karya adalah 0,2 sampai 0,5, sementara itu alfa pada industri padat modal adalah 0,2 sampai 0,8.
Di sisi lain, Kahar mengatakan usulan KSPI terkait rentang alfa tidak berubah, yakni 1,0 sampai 1,2. Rentang tersebut dinilai dapat mempertahankan daya beli masyarakat pada tahun depan.
Kahar menegaskan KSPI menolak usulan pemerintah dalam membagi alfa sesuai dengan jenis industri. Pendekatan tersebut dinilai menyalahi esensi upah minimum yang dipahami serikat buruh.
"Upah minimum adalah upah paling rendah yang berfungsi sebagai jaring pengaman. Tidak boleh ada upah di bawah upah minimum, sehingga kami menolak pendekatan alfa dengan dua kategori," kata Kahar.