Daya Beli Lesu, Tingkat Hunian Hotel Berbintang saat Nataru Diramal Hanya 45%

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/wpa.
Pekerja merapikan kasur kamar hotel di Padang, Sumatera Barat, Rabu (6/11/2024). Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat mencatat, tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang di provinsi itu pada September 2024 sebesar 48,34 persen atau meningkat dari bulan sebelumnya 44,07 persen, karena mulai akhir tahun banyak digelar ajang nasional oleh pemerintah di provinsi itu yang mengundang tamu dari luar daerah.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
19/11/2024, 16.09 WIB

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI memproyeksikan pergerakan wisatawan pada Natal dan Tahun Baru 2024/2025 turun 10% secara tahunan. Tingkat hunian hotel berbintang bahkan diperkirakan hanya mencapai 45% seiring melemahnya daya beli kelas menengah yang terjadi sepanjang tahun ini.

Ketua Umum PHRI Haryadi Sukamdani mengatakan proyeksi tersebut telah memperhitungkan potensi penurunan harga tiket pesawat sebesar 10%. "Efek pelemahan daya beli cukup besar. Kalau hotel favorit dampaknya akan minimal, tapi secara nasional okupansi kemungkinan turun 10% secara tahunan," kata Haryadi di Jakarta Pusat, (19/11).

Namun, Haryadi memprediksi okupansi pada provinsi dengan kunjungan wisatawan mancanegara atau wisman yang tinggi tetap akan tumbuh. Provinsi yang dimaksud adalah Bali dan Kepulauan Riau.

Menurut dia, peningkatan okupansi pada bulan depan umumnya sudah terlihat pada pemesanan yang dilakukan bulan ini. Namun tingkat pemesanan yang terjadi hingga hari ini, Selasa (19/11), dinilai masih rendah.

Haryadi menduga salah satu penyebab pelemahan daya beli kelas menengah adalah maraknya judi daring atau judol pada tahun ini. Menurutnya, pemerintah kurang serius dalam memberantas judol lantaran iklan judol sempat muncul pada salah satu debat kandidat Pemilihan Kepala Daerah 2024.

"Pemberantasan judol butuh keseriusan dari semua pihak, karena judol berdampak signifikan ke penurunan daya beli," katanya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan, jumlah kelas menengah Indonesia saat ini menyusut menjadi 17,13% atau sekitar 46,25 juta penduduk. Padahal Airlangga menyebut kelas menengah adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara.

Jika melihat data Susenas Badan Pusat Statistik (BPS), porsi kelas menengah Indonesia mencapai puncaknya pada 2018 di 23%. Pada 2019 jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 57,33 juta orang, setara 21,45% dari total penduduk.

Populasi kelas menengah konsisten susut setelah itu hingga saat ini. BPS mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok masyarakat dengan pengeluaran antara 3,5 sampai 17 kali lipat dari garis kemiskinan nasional.

Reporter: Andi M. Arief