Serikat Pekerja Tolak Aturan Pengupahan Prabowo, Sebut Tak Pernah Diajak Diskusi

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal (tengah) bersama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea (kanan) dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Ely Rosita Silaban memberikan keterangan usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/9/2025). Presiden Prabowo Subianto mengundang tokoh lintas agama, pimpinan serikat pekerja dan pimpinan partai politik untuk membahas sit
17/12/2025, 16.37 WIB

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan penolakan atas Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan. Aturan yang ditandatangani Presiden Prabowo pada Selasa (16/12) akan dijadikan acuan untuk menentukan upah minimum di berbagai daerah.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan ada beberapa alasan yang mendasari penolakan tersebut. Pertama, kalangan buruh tidak pernah diajak diskusi untuk merumuskan PP tersebut.Kedua, karena buruh tidak mengetahui isi PP pengupahan hingga saat ini.

“Pembahasan yang bersifat sosialisasi di Dewan Pengupahan hanya dilakukan satu kali saja pada 3 November sekitar 2 jam. Sampai hari ini buruh tidak mengetahui apa isi pasal demi pasal (PP tersebut),” kata Said dalam konferensi pers daring, Rabu (17/12).

Alasan yang ketiga dia menyebut isi aturan ini merugikan buruh, salah satunya terkait definisi kebutuhan hidup layak (KHL).

Menurut buruh, definisi kebutuhan hidup layak haruslah mengacu kepada Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 18 tahun 2020. Dalam aturan tersebut indeks KHL memuat 64 item, seperti beras 10 kg, daging 0,75 kg, cicilan rumah atau sewa rumah, transportasi, dan lain-lain.

“Di dalam penjelasan Menteri Ketenagakerjaan, penetapan kenaikan upah mengacu pada PP Pengupahan, tidak menggunakan definisi KHL sebagaimana Permenaker nomor 18 tahun 2020,” ujarnya.

Said mengatakan hal ini membuat buruh menilai indikator KHL diputuskan sepihak oleh pemerintah. Dia memandang definisi KHL yang dipaparkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli merupakan akal-akalan saja.

“Seolah-olah ingin dinarasikan upah minimum di Indonesia sudah melebihi kebutuhan hidup yang layak. Dengan demikian jelas isi PP tersebut menggunakan KHL yang tidak punya dasar hukum dan merugikan buruh,” ucapnya.

Alasan terakhir yang mendasari penolakan ini berkaitan dengan kembalinya rezim upah murah. Sebab PP Pengupahan masih mengadopsi PP Nomor 51 Tahun 2024 dan PP Nomor 36 Tahun 2021.

“Dua PP tersebut tidak layak diadopsi oleh PP Pengupahan yang baru karena menganut rezim upah murah,” katanya.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan PP Pengupahan ini sudah melalui alur penyusunan yang cukup panjang. Dalam prosesnya pemerintah juga sudah melakukan kajian dan mendengar aspirasi dari berbagai pihak, termasuk serikat pekerja, serikat buruh, serta pengusaha.

“Kami juga mengkaji secara akademik, salah satu poin pentingnya terkait dengan KHL. Bagaimana menghitung, mengestimasi kebutuhan hidup layak, dan Alhamdulillah tahun ini sudah keluar,” kata Yassierli dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (17/12).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Mela Syaharani