Anomali Industri, Manufaktur Masih Tahan Produksi Hadapi Ramadan dan Lebaran

ANTARA FOTO/Maulana Surya/agr
Pekerja menyelesaikan pesanan produk tekstil untuk ekspor di pabrik PT Sari Warna Asli Tekstil (Sari Warna) Solo, Jawa Tengah, Kamis (17/7/2025). Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan kesepakatan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang turun menjadi 19 persen dari semula 32 persen diyakini dapat memacu daya saing produk manufaktur domestik di pasar ekspor dan juga akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja lebih luas lagi pada industri padat karya seperti industri tekstil,
Penulis: Andi M. Arief
30/12/2025, 17.25 WIB

Pelaku industri manifaktur  belum menambah produksi meskipun sudah menjelang bulan Ramadan. Hal itu didorong oleh ketidakpastian kebijakan pemerintah.

Kondisi ini tercermin dari Indeks Kepercayaan Industri atau IKI yang anjlok dari 53,45 pada November 2025 menjadi 51,9 bulan ini. Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni berargumen peningkatan permintaan untuk pasar Ramadan 2026 sudah masuk, namun masih pada tahap industri kemasan.

"Industri makanan dan minuman baru meningkatkan produksi sebulan sebelum Ramadan 2026. Hal tersebut juga akan dilakukan oleh sektor manufaktur lain, seperti garmen dan mungkin kendaraan pribadi," kata Febri di kantornya, Selasa (30/12).

Febri mendata variabel produksi dalam IKI Desember 2026 telah naik 92 basis poin, tapi masih dalam kondisi kontraksi di posisi 48,41 poin. Senada, variabel pesanan baru susut ke 52,76 poin dan persediaan baru turun ke 54,99 poin.

Penurunan variabel persediaan produk merupakan langkah pelaku industri mengosongkan gudangnya dalam menghadapi lonjakan permintaan Ramadan 2026. "Pelaku industri saat ini mengambil ancang-ancang untuk produksi memenuhi pasar bulan puasa," katanya.

Sementara itu, penurunan variabel pesanan baru disebabkan ketidakpastian kebijakan insentif oleh pemerintah. Survei IKI menunjukkan beberapa insentif yang ditunggu pelaku industri adalah penurunan suku bunga pinjaman, insentif kredit investasi, stimulus ekspor, maupun insentif pembelian di tingkat konsumen.

Karena itu, pelaku industri menunda kontrak pembelian bahan baku, sementara konsumen menunda pembelian barang jadi. "Kejadian ini memang bersifat musiman yang membuat pelaku industri wait and see pada akhir tahun," katanya.

Walau demikian, pemerintah mulai mengkaji kelanjutan insentif fiskal otomotif pada 2026 di tengah lesunya penjualan mobil nasional. Sinyal tersebut menguat setelah Kementerian Perindustrian mengirimkan surat usulan insentif ke Kementerian Keuangan hari ini, Selasa (30/12).

Namun Febri masih enggan mengumumkan isi surat tersebut, baik insentif yang diberikan maupun jenis produk otomotif yang akan mendapatkan stimulus. Untuk diketahui, pemerintah telah mendiskon Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah untuk kendaraan elektrik dan hybrid pada tahun ini.

"Menteri Perindustrian telah mengirimkan surat ke Menteri Keuangan terkait usulan insentif industri otomotif untuk tahun 2026 pada hari ini, Selasa (30/12). Isi surat itu hanya tiga orang yang tahu, yakni Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, dan tuhan," ujarnya.

Febri menyampaikan kebutuhan insentif pada industri otomotif makin tinggi akibat lesunya penjualan kendaraan baru di dalam negeri. Alhasil, pelaku industri otomotif eksisting mulai mempertimbangakn keberlanjutan usahanya di dalam negeri.

Karena itu, pemerintah berupaya menempuh berbagai cara untuk menggairahkan pasar mobil baru. Seperti dengan memberikan dukungan berupa insentif pada 2026. Sehingga masyarakat maupun para pelaku industri dapat terbantu.

“Tidak adanya intervensi kebijakan akan membuat tekanan ini semakin dalam,” ungkap Febri Hendri Antoni, Juru Bicara Kemenperin di laman resmi Kemenperin, Selasa (2/12).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Andi M. Arief