Kronologi Ketegangan AS – Iran hingga Memicu Isu Perang Dunia Ketiga
Baru sepekan memasuki dekade baru, jagat maya diramaikan oleh diskusi soal potensi terjadinya perang dunia ketiga. Topik ini ramai dibahas di media sosial, hingga masuk daftar teratas pencarian Google.
Panasnya hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran meningkat secara dramatis pada hari Jumat (3/1), setelah Presiden AS Donald Trump memerintahkan pembunuhan komandan militer Iran Qassem Soleimani.
Trump menyatakan langkah ini diambil sebagai upaya menghentikan perang, bukan memulainya. Namun, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersumpah akan membalas pembunuhan Soleimani.
Berikut ini beberapa peristiwa penting yang mengarah pada situasi saat ini seperti yang dikutip dari Aljazeera:
AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran
Dalam kampanyenya, Trump pernah berjanji untuk menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran. Ia berniat untuk menepati janji itu. "Jika kesepakatan itu tidak dapat diperbaiki, AS tidak akan lagi terlibat di dalamnya," kata Trump pada 8 Mei 2018. Ia menambahkan, "Kesepakatan Iran pada intinya cacat."
Kesepakatan yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) itu dengan ketat membatasi program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, AS, Prancis, Jerman, Inggris, Rusia dan Tiongkok akan mengakhiri sanksi ekonominya.
(Baca: Hubungan AS-Iran Memanas, Investor Mulai Meninggalkan Saham)
Administrasi Trump kemudian mengajukan klausul baru. Pada 21 Mei 2018, AS menuntut Iran membuat perubahan besar, mulai menghentikan program nuklirnya hingga menarik diri dari perang Suriah. Ke-12 tuntutan yang digariskan oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, ditolak oleh Teheran.
Sanksi putaran pertama
Penolakan Iran membuat AS melarang perdagangan sejumlah komoditas, dari karpet, pistachio, emas, hingga komponen penerbangan mulai 7 Agustus 2018. Selanjutnya, sanksi putaran kedua dimulai pada 5 November 2018 dengan menarget sektor minyak dan perbankan.
Sabotase kapal tanker
Pada 12 Mei 2019, Uni Emirat Arab mengatakan empat kapal tanker disabotase di lepas pantai Fujairah, salah satu pusat bunkering terbesar di dunia. Kapal-kapal yang rusak diidentifikasi sebagai kapal tanker Saudi Al-Marzoqah dan Amjad, kapal tanker Norwegia Andrea Victory, dan sebuah tongkang bunker UEA, A Michel.
Fujairah adalah satu-satunya terminal Emirat yang terletak di Laut Arab, melewati Selat Hormuz yang dilewati Kapal pengangkut sebagian besar ekspor minyak Teluk.
Dua hari berselang, kelompok pemberontak Houthi Yaman, menyerang pipa minyak utama Arab Saudi. AS dan Arab Saudi menuduh Iran mempersenjatai Houthi, tetapi Teheran membantah klaim itu.
(Baca: Foto: Ancaman Perang Besar di Timur Tengah, Amerika vs Iran)
Mediasi Jepang
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menawarkan mediasi dengan Iran saat bertemu Trump pada 27 Mei 2019. Kemudian, pada 12 Juni, Abe tiba di Teheran dan bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Mediasi itu gagal. Pada Abe, Khamenei menyatakan, "Saya tidak menganggap Trump sebagai orang yang pantas untuk bertukar pesan. Saya tidak punya jawaban untuknya dan tidak akan menjawabnya."
Sehari kemudian, saat Abe masih di Iran, sebuah kapal tanker Jepang dan satu kapal Norwegia diserang di Teluk Oman.
AS menurunkan lebih banyak pasukan
Pada 17 Juni 2019, Pentagon mengirim 1.000 tentara tambahan ke Timur Tengah. Kemudian, situasi semakin memanas saat drone militer AS ditembak jatus pada 20 Juni 2019.
Kedua negara mengkonfirmasi insiden tersebut, dengan perbedaan pernyataan soal lokasi pesawat. AS mengatakan, pesawat tanpa awaknya terbang di atas perairan internasional, sementara Iran mengatakan pesawat itu terbang di wilayah udara Iran.
AS kemudian mengirim pesawat tempur F-22 Raptor sebagai armada tambahan pada 29 Juni.
Iran melebihi batas kepemilikan uranium
Pada tanggal 1 Juli, PBB menyatakan Iran melampaui batas jumlah kepimilikan uranium sebesar 300 kilogram yang ditetapkan dalam kesepakatan nuklir.
(Baca: Konflik AS-Iran, Video Ramalan Perang Dunia III pada 2020 Viral)
Tanker pembawa minyak Iran ditahan
Pada 4 Juli 2019, mariner, polisi dan agen bea cukai Kerajaan Inggris menyita sebuah kapal tangker di Gubraltar. Kapal itu dituduh melanggar sanksi Uni Eropa dengan membawa minyak mentah Iran ke Suriah.
Sebagai balasan, Iran menyita kapal tanker minyak Inggris pada 19 Juli 2019. Inggris kemudian mengumumkan kapal perang negara itu akan mengawal semua kapal berbendera Inggris melalui Selat Hormuz. Perubahan kebijakan yang terjadi di tengah meningkatnya ketegangan di Teluk.
Iran kembali melampaui batas stok uranium
Pada 30 Agustus 2019, PBB mengatakan Iran masih melampaui batasan yang ditetapkan oleh perjanjian nuklir.
AS kemudian menjatuhkan sanksi pada badan antariksa sipil Iran dan dua organisasi penelitian atas tuduhan mendukung program rudal balistik Teheran.
Serangan terhadap Aramco
Pada 14 September, pemberontak Houthi Yaman mengaku bertanggung jawab atas serangan terhadap dua fasilitas minyak utama Saudi Aramco: kilang Abqaiq dan ladang minyak Khurais, di Arab Saudi bagian timur. Serangan itu memangkas lebih dari setengah produksi minyak mentah Aramco.
Pompeo dengan cepat menyalahkan Iran. Namun, Iran membantahnya, dan menyebut tuduhan Pompeo sebagai alasan yang dicari-cari untuk kembali menjatuhkan sanksi ekonomi.
Kemudian, saat berbicara di depan Majelis Umum PBB di New York pada 24 September 2019, Trump mengecam Iran dan menyerukan agar negara-negara di seluruh dunia memperketat jerat ekonomi terhadap Iran.
"Salah satu ancaman keamanan terbesar yang dihadapi negara-negara yang cinta damai saat ini adalah rezim represif di Iran," katanya.
Kerusuhan meletus
Berbagai sanksi ekonomi yang dihadapi membuat pemerintah Iran terjepit. Kerusuhan di Iran meletus pada 15 November setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar hingga 300%.
Kerusuhan menyebar ke lebih dari 100 kota dan memakan korban jiwa. Berbicara kepada ribuan demonstran di ibu kota, Jenderal Hossein Salami pada 25 November 2019 menuduh AS, Inggris, Irak dan Arab Saudi telah memicu kerusuhan di negara itu.
Kantor berita resmi IRNA melaporkan pada 27 November 2019 bahwa agen keamanan Iran menangkap setidaknya delapan orang yang terkait dengan CIA selama kerusuhan.
Kontraktor AS terbunuh
Pada 27 Desember, serangan roket ke pangkalan militer Irak di Kirkuk menewaskan seorang kontraktor AS dan melukai beberapa personel AS dan Irak. AS menyalahkan Kataib Hezbollah, seorang milisi yang didukung Iran, atas serangan itu.
Dua hari kemudian, militer AS menyerang lokasi-lokasi milik Kataib Hezbollah di Irak dan Suriah. Sumber Aljazeerah mengatakan sedikitnya 25 orang tewas dan 55 lainnya cedera akibat serangan tersebut.
(Baca: Outlook 2020: Harapan di Tengah Ketidakpastian Global)
Unjuk rasa di kedutaan besar AS
Pada 31 Desember, para anggota dan pendukung kelompok paramiliter pro-Iran di Irak menerobos ke kompleks kedutaan besar AS di Baghdad, menghancurkan pintu utama dan membakar bagian-bagian perimeternya.
"Iran mengatur serangan terhadap Kedutaan Besar AS di Irak. Mereka akan bertanggung jawab penuh," tulis Trump di Twitter.
Pembunuhan Soleimani
Pada 2 Januari 2020, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan bahwa ada indikasi bahwa Iran atau kelompok-kelompok yang didukungnya mungkin tengah merencanakan serangan lanjutan terhadap kepentingan AS di Timur Tengah. "Jika itu terjadi, maka kita akan bertindak,” katanya.
Kemudian, dalam serangan udara di bandara Baghdad di Irak pada pagi hari, 3 Januari 2020, AS membunuh Qassem Soleimani, kepala Pasukan elit Quds Iran, dan Abu Mahdi al-Muhandis, wakil komandan milisi yang didukung Iran.