Sejarah Kontroversial Brexit dan Peran Perdana Menteri Inggris

ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman
Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker di kantor pusat Komisi Eropa di Brussels, Belgia, Jumat (8/12).
28/5/2019, 16.42 WIB

Sebenarnya, Uni Eropa telah memberi tambahan waktu bagi Inggris menyelesaikan persoalannya. Dalam pertemuan UE dengan May, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk menyatakan UE sepakat memberi waktu perpanjanhan hingga 31 Oktober agar Inggris dapat mempersiapkan kesepakatan lebih panjang.  "Tolong jangan buang waktu lagi," kata Tusk.

(Baca: Mendag Sebut Brexit dan Perang Dagang Ganggu Stabilitas Ekonomi Dunia)

Perdebatan Panjang Brexit di Inggris

Keanggotaan Inggris di Uni Eropa sebenarnya sudah menjadi perdebatan di negaranya sendiri selama beberapa dekade. Pendukung Inggris tetap di Uni Eropa beranggapan Negeri Ratu Elizabeth itu akan semakin kuat, jika terus bergabung di UE. Sebaliknya, kubu yang skeptis berpendapat keberadaan Inggris di UE melemahkan kedaulatannya sendiri. 

Salah satu yang menjadi sasaran kubu pro Brexit adalah maraknya tenaga kerja dan imigran yang dianggap mengambil lahan pekerjaan masyarakat lokal. Mereka beralasan anggaran negara lebih baik dialokasikan untuk keperluan dalam negeri, bukan Uni Eropa.

"Berada di luar (UE), berarti kami akan mengembalikan kontrol, anggota parlemen yang akan membuat peraturan dan bukan beberapa orang di Brussels (markas Uni Eropa)," kata politisi sayap kanan Inggris Nigel Farage tahun 2016.

Farage beranggapan Uni Eropa merupakan ide usang yang tidak sejalan dengan globalisasi. Salah satu contohnya, krisis dan resesi ekonomi zona Euro yang malah menular dari dan ke negara-negara anggotanya. Kenggotaan di Uni Eropa dianggap telah menghambat kemajuan ekonomi Inggris.

PM Inggris saat referendum, David Cameron juga menjanjikan status Inggris di Uni Eropa akan dibahas apabila Partai Konservatif memenangi pemilihan tahun 2015. Walhasil Akta Rreferendum Uni Eropa  akhirnya mulai dibahas setelah Partai Konservatif memenangkan kursi parlemen mayoritas.

Cameron merupakan sosok pro bertahan di Uni Eropa. Namun banyak anggota Partai Konservatif merupakan pendukung brexit, salah satunya Boris Johnson, kawan almamaternya di Universitas Oxford. Boris sempat menjadi Walikota London, sebelum menjadi Menteri Luar Negeri era May. 

Referendum kemudian berjalan dan dimenangkan kubu yang ingin hengkang, dengan mayoritas suara di daerah sub-urban dan pedesaan. Seperti May, Cameron juga menyatakan pengunduran diri dengan alasan Inggris perlu kepala pemerintahan yang mendukung proses Brexit.

"Keinginan masyarakat Inggris adalah instruksi yang harus dijalankan," kata Cameron saat itu. Cameron lantas digantikan May yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.

Usai May mundur, beberapa politisi mulai menunjukkan minat menduduki jabatan di Downing Street Nomor 10 itu. Selain Boris Johnson, dan Raab, ada pula Menteri Lingkungan Hidup Michael Gove. Meski demikian, Gove berharap Inggris dapat keluar pada Oktober nanti dengan kesepakatan. "Lebih baik untuk semua apabila kami menyepakati perjanjian," kata Gove dikutip Reuters.

Halaman: