Lawatan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al Saud, ke beberapa negara di Asia menarik perhatian banyak orang. Tak semata karena kunjungan tersebut selama sebulan penuh dengan membawa rombongan besar, melainkan juga inilah kunjungan pertama Raja Salman ke luar Timur Tengah dan Afrika Utara sejak dia bertandang ke Amerika Serikat (AS) tahun 2015.
Apalagi, selain Malaysia, Indonesia dan Jepang, negara yang dikunjungi Sang Raja adalah Cina, negara yang selama ini berseberangan ekonomi dan politik dengan AS. Hingga kini, memang belum diketahui jelas agenda lawatan Raja Salman ke negeri berjuluk Tirai Bambu itu.
Yang jelas, dalam setahun terakhir, kerja sama ekonomi Cina dan Arab Saudi terlihat semakin erat. Pada September tahun lalu, Wakil Putera Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman Al Saud, mengunjungi Beijing untuk menghadiri pertemuan kelompok negara-negara G20.
Di luar pertemuan itu, Arab Saudi dan Cina menandatangani sejumlah perjanjian kerjasama. Seperti dilansir Al Arabiya, setidaknya ada 15 kesepakatan serta nota kesepahaman (MoU) yang diteken. Kerja sama yang mereka sepakati mencakup berbagai sektor, termasuk pengembangan energi, penyimpanan minyak, pengembangan perumahan hingga sumber daya air. Salah satu raksasa teknologi Cina, Huawei, menjalin kerja sama investasi dengan Arab Saudi tersebut.
(Baca: Peringkat 57, Investasi Arab Saudi di Indonesia Cuma Rp 11,9 Miliar)
Jejak kedekatan Arab Saudi dan Cina bahkan sudah terlihat sejak 2009. Presiden Cina saat itu, Hu Jintao, melakukan kunjungan ke Riyadh selama tiga hari.
Kunjungan itu berkaitan dengan investasi Cina dalam proyek jalur kereta menghubungkan Mekah dan Madina. Seperti dikutip The Telegraph, proyek itu dibesut oleh China Railway Construction Corporation, bersama dengan perusahaan Arab Saudi dan Prancis.
Di sisi lain, Arab Saudi berkepentingan menjaga pasar ekspor minyaknya di kawasan Asia, khususnya Cina. Sebab, Cina merupakan importir minyak terbesar dunia, yang mencatatkan pertumbuhan paling pesat.
Namun, Rusia telah mengambil alih posisi Arab Saudi sebagai pemasok minyak terbesar ke Cina untuk pertama kalinya. Seperti dilansir Reuters (23/2), data pabean menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari kilang-kilang swasta di Cina.
Pengiriman minyak mentah dari Rusia pun melambung mendekati seperempat lebih besar dari catatan tahun 2015, atau menjadi sekitar 1,05 juta barel per hari (bph). Sementara itu, Arab Saudi ada di posisi kedua dengan jumlah ekspor 1,02 juta bph, atau naik 9 persen pada 2016 dibanding tahun sebelumnya.
(Baca: Pemerintah Minta Diskon Harga Minyak Mentah ke Raja Arab)
Di satu sisi, perusahaan minyak nasional Cina menjadi salah satu tulang punggung Arab Saudi untuk kontrak pembelian minyak dalam jangka panjang. Di sisi lain, kilang-kilang mandiri Cina yang disebut sebagai "poci teh" (teapot), karena kapasitasnya yang lebih kecil, melirik Rusia sebagai pemasok yang lebih fleksibel.
Pengiriman minyak mentah dari Rusia untuk kilang-kilang tersebut pertama kali dilakukan pada akhir 2015. Rusia pun diprediksi mampu bertahan sebagai pemasok terbesar minyak dunia ke Cina sepanjang 2017. Salah satu faktor pendorongnya adalah pengembangan pipa minyak mentah campurannya di East Siberian- Pacific Ocean (ESPO).
Adapun, analis dari Consultancy Energy Aspects, Michal Meidan menjelaskan, pemangkasan produksi minyak yang disepakati OPEC pada November tahun lalu akan menggerus pangsa pasar negara-negara Timur Tengah. "Pemangkasan mayoritas dilakukan untuk pengiriman ke Eropa dan Amerika Serikat," ujarnya.
Demi menjaga pasarnya, perusahaan minyak nasional Arab Saudi, Saudi Aramco, kini membidik Cina. Aramco mencari kilang baru di bawah pengelolaan perusahaan minyak Cina, CNOOC, untuk menyerap produksi minyaknya. (Baca: Menkeu Sebut Tantangan Ekonomi 2017: Trump, Brexit, Cina)