Dituduh Dalang Kerusuhan dan Dicap Teroris oleh Trump, Apa itu Antifa?

ANTARA FOTO/REUTERS/Patrick T. Fallon/aww/cf
Warga berdiri di atas mobil polisi yang terbakar saat protes atas kematian George Floyd saat ditahan polisi Minneapolis, di Los Angeles, California, Amerika Serikat, Sabtu (30/5). Presiden AS Donald Trump menuding kelompok Antifa berada di balik aksi protes dan rusuh tersebut.
Penulis: Sorta Tobing
1/6/2020, 12.34 WIB

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kelompok Antifa masuk dalam daftar kelompok teroris. Keputusan ini ia buat sebagai buntut kerusuhan yang terjadi di negaranya karena kematian seorang warga kulit hitam bernama George Floyd.

Trump menuding Antifa telah membajak aksi damai para demonstran yang menuntut keadilan atas kematian Floyd. "Amerika Serikat akan memasukkan ANTIFA sebagai organisasi teroris," kicaunya pada akun Twitter-nya, @realDonaldTrump, Minggu (31/5).

Melansir dari The New York Times, langkah tersebut mengundang kritik dari banyak pihak. Pasalya, AS tidak memiliki undang-undang terorisme dalam negeri. Selain itu Antifa, kependekan dari Anti-Fasis, bukanlah organisasi dengan pemimpin dan struktur keanggotaan yang jelas.

(Baca: Mengenal George Floyd yang Kematiannya Memicu Unjuk Rasa Besar di AS)

Kematian George Floyd pada Senin pekan lalu memicu gelombang protes di AS. Floyd tewas ketika ditangkap polisi di Minneapolis, Minnesota.

Sebuah video yang beredar di dunia maya menunjukkan seorang polisi kulit putih bernama Derek Chauvin menekan lututnya ke leher Floyd selama sekitar delapan menit. Cara penangkapan ini yang diduga menjadi pemicu kematian pria berkulit hitam berusia 46 tahun itu.

Demonstran membawa poster bertuliskan "Black Lives Matter" untuk menunjukkan protesnya kepada kepolisian AS. Tapi aksi ini berujung kepada kerusuhan dan penjarahan. Gelombang protes dan rusuh ini menyebar tak hanya di Minneapolis, tapi juga hingga New York sampai Los Angeles.

(Baca: Kematian George Floyd Berujung Kerusuhan di New York hingga Washington)

Demonstrasi mendesak keadilan atas kematian George Floyd di New York, AS (ANTARA FOTO/REUTERS/Jeenah Moon/wsj/cf)

Apa itu Artifa?

Antifa merupakan gerakan aktivis yang pengikutnya berbagi filosofi dan taktik. Gerakan ini mulai dikenal oleh publik ketika terjadi protes besar “Unite the Right” di Charlottesville, Virginia, pada 2017.

Sulit mengetahui berapa jumlah anggotanya. Para pengikutnya mengakui Antifa bersifat rahasia, tidak memiliki pemimpin resmi, dan diorganisasi ke dalam sel-sel lokal yang otonom.

Dalam beberapa tahun terakhir, Antifa cenderung menentang kelompok sayap kanan. Kampanyenya terutama fokus menentang pandangan otoriter, homofobik, rasis, dan xenofobik.

Gerakannya tak hanya memakai taktik protes turun ke jalan, tapi juga memakai aktivisme digital, kekerasan fisik, dan pelecehan terhadap mereka yang fasis, rasis atau beraliran kanan. Anggotanya pernah pula terlibat dalam kampanye Occupy Wall Street dan Black Lives Matter.

(Baca: Reporter CNN Ditangkap saat Liputan Demonstrasi Kematian George Floyd)

Demonstrasi menuntut keadilan atas kematian George Floyd berujung kerusuhan dan penjarahan di AS. (ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Drake/aww/cf)

Apa Tujuan Antifa?

Antifa berusaha menghentikan apa yang mereka anggap sebagai kelompok fasis, rasis, dan sayap kanan. Tujuan ini yang menyebabkan mereka menargetkan membela orang-orang terpinggirkan, termasuk ras minoritas, perempuan, dan anggota LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer).

“Argumennya, militan anti-fasisme membela diri dari kekerasan yang dilakukan oleh kaum fasis, terutama kepada orang-orang terpinggirkan,” ucap Mark Bray, dosen sejarah di Dartmouth College dan penulis Antifa: The Anti-Facist Handbook.

Gerakan ini melakukan pengorganisasian masyarakat dengan damai. Tapi mereka percaya kekerasan dapat dibenarkan karena jika kelompok rasis atau fasis dibiarkan dengan bebas, pasti menghasilkan kekerasan terhadap warga minoritas.

(Baca: Twitter Sembunyikan Kicauan Trump soal Pembunuhan George Floyd)

Demonstrasi menuntut keadilan atas kematian George Floyd di AS.  (ANTARA FOTO/REUTERS/Eric Miller/wsj/cf)

Bagaimana Sejarah Antifa?

Kamus Merriam-Webster mengatakan kata antifa pertama kali dipakai pada 1946 dan dipinjam dari frasa Jerman. Orang yang berada dalam kelompok ini berarti oposisi terhadap Nazisme.

Tapi ada pula yang berpendapat, Antifa telah muncul sebelum itu. Ketika diktator Italia Benito Musolini berkuasa di bawah Partai Fasis Nasional pada pertengahan 1920an, gerakan anti-fasis muncul di negara itu hingga AS.

Pada 1970-an dan 1980-an, Antifa muncul kembali untuk menentang supremasi kulih putih. Di Inggris, kemunculannya terlihat pada skena punk dan skinhead. Di Jerman, ketika tembok Berlin runtuh, kaum muda kiri pun muncul. Mereka ini dianggap kaum anarkis dan penggemar punk, serta melawan kelompok neo-Nazi.

Kelompok Antif modern mulai muncul ketika Trump berkuasa pada 2016. Mereka muncul untuk melawan kelompok Alt-Righ, yang sangat mendukung kebijkan Trump dan supremasi kulit putih.

(Baca: Bursa Asia Menguat meski Investor Khawatir Kerusuhan di AS)

Demonstran yang tertangkap polisi dalam aksi unjuk rasa menuntut kematian atas kematian George Floyd di AS. (ANTARA FOTO/REUTERS/Patrick T. Fallon/wsj/cf)

Bagaimana Politisi Melihat Antifa?

Gerakan ini mengundang banyak kritik baik dari kelompok kiri dan kanan AS. Ketua Senat AS dari Partai Demokrat Nancy Pelosi mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan Antifa dan mengatakan mereka harus ditangkap pada Agustus 2017.

Profesor sejarah New York University Ruth Ben-Ghiat yang mempelajari fasisme mengaku khawatir dengan metode gerakan tersebut. Pasalnya, keinginan membuat kesetaraan untuk semua orang terlihat palsu karena membungkam kekerasan di sebelah kiri dengan serangan ke kanan.

Militansi di sebelah kiri dapat menjadi pembenaran bagi mereka yang berkuasa dan sekutu di sebelah kanan untuk menindak. “Dalam situasi ini, kiri atau Antifa, secara historis ditempatkan pada situasi mustahil,” ujar Ben-Ghiat.

Dalam rentang waktu 2010 sampai 2016, sebanyak 53% serangan terorisme di AS dilakukan oleh ekstremis agama, 35% eketremis kanan, dan 12% ekstremis sayap kiri, menurut penelitian University of Maryland.

(Baca: 25 Kota di AS Berlakukan Jam Malam Akibat Meluasnya Kerusuhan)