Maradona, Pahlawan dan Kultus

ANTARA FOTO/REUTERS/Matias Baglietto/pras/cf
Matias Baglietto Penggemar pemain sepakbola Argentina Diego Maradona, Walter Rotundo dan anak perempuan kembarnya Mara dan Dona, yang diberi nama mirip Maradona, berpose untuk foto di luar klinik dimana Maradona melakukan operasi otak, di Olivos, di pinggiran kota Buenos Aires, Argentina, Kamis (5/11/2020).
Penulis: Adek Media Roza
Editor: Redaksi
27/11/2020, 06.00 WIB

Pemain yang memberikan hatinya untuk sepakbola akan mendapatkan kesetiaan mutlak dari suporternya. Dan bagi Argentina, Maradona dianggap telah memberikan lebih dari apa yang ia miliki, sehingga ia dianggap tanpa cela, bahkan dikultuskan.

Menurut Archetti, kontrak itu terjadi dalam dua momen di Piala Dunia 1986, saat Maradona menghempaskan Inggris di tengah residu Perang Malvinas masih terasa, dan ketika umpannya kepada Jorge Burruchaga di partai final memastikan Argentina sebagai juara.

Gelar itu sekaligus menghapus keraguan bahwa Argentina layak menjadi juara dunia. Sebelumnya, Argentina dicemooh karena gelar juara dunia 1978 diperoleh melalui main mata. Argentina dituding meminta Peru untuk mengalah 0-6 agar Tim Tango lolos ke final.

Jauh sebelum 1986, Maradona tampaknya sudah “diplot” untuk menjadi pahlawan dan merebut hati publik Argentina. Ini berlangsung ketika junta militer pimpinan Jorge Videla berkuasa pada periode 1976-1981. Bagi Videla, Maradona adalah komoditas untuk mengalihkan perhatian publik dari rentetan pelanggaran HAM.

Di awal 1978, Videla mencegah rencana kepindahan Maradona muda ke Barcelona. Ia khawatir Maradona akan berganti kewarganegaraan. Junta militer bahkan memberi label Komunis bagi mereka yang mendukung kepindahan Maradona.

Maradona bertahan di klub Argentinos Juniors. Ia memang tak terpilih dalam skuad Piala Dunia 1978 di negerinya sendiri karena dianggap terlalu muda, belum genap 18 tahun. Namun, setahun kemudian ia menjadi bintang dan membawa Argentina juara di Piala Dunia Junior di Jepang. Berkat kemenangan itu, ia diundang ke Casa Rosada, istana Presiden Argentina.

Maradona dianggap berkontribusi besar, tak hanya di sepak bola tapi juga untuk nasionalisme negeri itu. Sebuah penelitian bertajuk “Football and the Fatherland” menyebutkan bahwa hanya di Argentina sepakbola menjadi pilar penunjang nasionalisme dan pembentuk karakteristik bangsa, terutama pada dekade 80 dan 90.

Pada periode itu, jatuh bangun sepak bola Argentina adalah jatuh bangun Maradona. Dan, yang semakin memperkuat hubungan emosional dengan suporternya adalah kemampuan Maradona untuk bangkit dari tiap keterpurukan, dan berbagi sensasi dan kegembiraan kepada publik lewat aksinya di lapangan hijau.

Maradona, anak miskin dari kampung kumuh Villa Fiorito di pinggiran Buenos Aires, menggocek bola dari jalanan ke stadion, dan dari stadion ke memori publik. Di fase ini, ia menjelma menjadi legenda. Maradona pergi untuk selamanya pada Rabu lalu akibat serangan jantung, tapi dia terus hadir dalam kenangan pendukungnya.

Halaman: