Demonstrasi Tolak Kudeta Myanmar Berlanjut, Militer Putus Internet

ANTARA FOTO/REUTERS/Myanmar Now/Handout /WSJ/dj
Polisi anti kerusuhan berbaris ditengah aksi unjuk rasa menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021).
Penulis: Happy Fajrian
7/2/2021, 13.46 WIB

Puluhan ribu orang dilaporkan turun ke jalan-jalan di Myanmar untuk memprotes penggulingan kekuasaan dan penahanan terhadap Aung San Suu Kyi, pemimpin terpilih negara tersebut oleh pihak Junta Militer.

Ini merupakan hari kedua demonstrasi untuk memprotes kudeta militer. Para pengunjuk rasa di kota terbesar negara itu, Yangon, membawa balon-balon merah yang mewakili warna partai pengusung Suu Kyi, National League for Democracy (NLD) sambil meneriakkan, “kami tidak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi”.

Warga Myanmar sempat mem-posting situasi yang terjadi ke media sosial seperti Facebook, sebelum pihak militer kembali memutus akses internet dan membatasi sambungan telepon sejak Sabtu (6/2).

Dengan akses internet yang diputus dan tidak banyak informasi yang disampaikan pihak berwenang, berkembang rumor terkait nasib Suu Kyi dan kabinetnya. Salah satunya terkait pembebasan Suu Kyi yang disambut dengan perayaan oleh warga Myanmar pendukungnya.

Namun kabar tersebut langsung dibantah oleh pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw, yang menyatakan bahwa pemimpin berusia 75 tahun itu masih dalam tahanan militer.

Sementara itu pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews melaporkan bahwa lebih dari 160 orang ditahan sejak pihak militer mengambil alih kekuasaan pada Senin (1/2).

“Para jenderal sekarang mencoba untuk melumpuhkan gerakan perlawanan massa dan menutup akses informasi ke seluruh dunia dengan memutus semua akses internet,” kata Andrews, seperti dikutip Reuters, Minggu (7/2).

Partai NLD Suu Kyi memenangkan pemilu pada 8 November 2020 dengan telak. Namun para jenderal menolak untuk mengakui kemenangan tersebut dan mengklaim telah terjadi kecurangan.

Militer berargumentasi bahwa pemilihan umum yang dimenangkan Suu Kyi itu berlangsung tidak jujur. Militer juga mendakwa Suu Kyi melakukan tindakan melanggar hukum dengan mengimpor handy talky secara ilegal.

Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Myanmar menempati peringkat ke-8 Indeks Demokrasi 2020. EIU memberikan penilaian tersebut berdasarkan lima indikator, yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.

Kecaman Dunia

Para pemimpin dunia mengecam kudeta militer yang terjadi di Myanmar, termasuk Sekjen PBB Antonio Guterres. Mereka mendesak pemimpin militer Myanmar melepaskan kekuasaan yang direbutnya dan membebaskan para politisi.

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam pidatonya terkait kudeta di Myanmar mengatakan bahwa dalam sistem pemerintahan demokrasi, militer tak boleh membatalkan hasil pemilihan umum.

Sementara itu Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin angkat bicara soal kondisi politik terkini di Myanmar. Keduanya menyampaikan keprihatinannya atas pergolakan politik yang berujung kudeta militer dan penangkapan Aung San Suu Kyi.

Jokowi dan Muhyiddin meminta ASEAN menggelar pertemuan khusus tingkat menteri luar negeri untuk membahas gejolak politik Myanmar. “Kami sudah berbicara dengan Perdana Menteri (Muhyiddin) mengenai ini,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jumat (5/2).

Jokowi juga berharap gejolak politik di Myanmar diselesaikan dengan mekanisme hukum yang berlaku. Tak hanya itu, Presiden mengingatkan negara tersebut agar menghormati Piagam ASEAN.

“Terutama soal rule of law, good governance, Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemerintahan yang konstitusional,” kata Presiden. “Kami memandang serius keadaan Myanmar yang mundur ke belakang dalam hal demokrasi,” kata Muhyiddin.