Kedubes RI di Myanmar Didemo, Menlu Retno Bantah Dukung Pemilu Baru

ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/HP/sa.
Demonstran memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Jumat (19/2/2021).
Penulis: Yuliawati
23/2/2021, 16.10 WIB

Kementerian Luar Negeri RI membantah pemberitaan yang menyebut bahwa Indonesia mendukung rencana militer Myanmar untuk menyelenggarakan pemilihan umum baru. Usulan pemilu itu mengemuka setelah  kudeta terhadap pemerintahan sipil negara itu pada 1 Februari lalu.

Laporan Reuters pada Senin (21/2) itu  memicu unjuk rasa di depan Gedung Kedutaan Besar RI (KBRI) Yangon pada Selasa (22/2), oleh warga Myanmar yang menentang kudeta militer dan menolak adanya pemilu baru. Reuters melaporkan Indonesia mendorong rencana aksi pemilu baru untuk disetujui oleh negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

“Saya membantah adanya plan of action (rencana aksi—red). Itu sama sekali bukanlah posisi Indonesia,” kata Juru Bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah, dikutip dari Antara, Selasa (23/2).

Unjuk rasa di depan KBRI Yangon, kata Faizasyah, berlangsung damai dan tanpa kekerasan. Dia menunjukkan sebuah foto para demonstran berdiri di depan gedung KBRI sambil memegang spanduk yang antara lain bertuliskan “Kami tidak perlu pemilu lainnya” dan “Kami ingin pemerintah terpilih kami kembali” yang disertai dengan tagar “Hormati suara kami”.

Menlu Retno Terapkan Politik Diplomasi Ulang-alik


Faizasyah menyatakan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sedang melakukan diplomasi ulang alik atau shuttle diplomacy, mengupayakan konsultasi dan mengumpulkan pandangan dari negara-negara ASEAN. Langkah ini persiapan pelaksanaan pertemuan khusus para menlu ASEAN untuk membahas krisis politik di Myanmar.

Pertemuan tersebut telah diamanatkan oleh Presiden RI Joko Widodo usai bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin di Jakarta, awal Februari lalu.

Dalam sepekan terakhir Retno telah berkunjung ke Brunei Darussalam dan Singapura, dan akan dilanjutkan ke Thailand dalam waktu dekat. Para menteri luar negeri saling berkonsultasi tentang peran ASEAN untuk membantu penyelesaian krisis politik Myanmar.

Sejak konflik politik kembali mencuat di Myanmar, Indonesia telah menyampaikan keprihatinan dan mengimbau penyelesaian krisis dengan menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN. Prinsip tersebut antara lain komitmen pada hukum, pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi, dan pemerintahan yang konstitusional.

“Indonesia mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan pendekatan dialog dalam mencari jalan keluar dari berbagai tantangan dan permasalahan yang ada sehingga tidak semakin memperburuk situasi di Myanmar,” kata Faizasyah.

Indonesia juga menggarisbawahi bahwa perselisihan terkait hasil pemilihan umum, dapat diselesaikan dengan mekanisme hukum yang tersedia.

“Kalau mekanisme itu sendiri belum ada di Myanmar, setidaknya kami sampaikan adalah prinsip-prinsip prosedural yang berlaku di negara-negara demokrasi,” kata Faizasyah.

Militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari setelah komisi pemilihan menolak tuduhan penipuan, setelah partai pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi pemungutan suara.

Junta menjanjikan pemilu baru, tetapi tanpa menetapkan jadwal yang pasti. Kudeta tersebut telah memicu protes massal setiap hari selama hampir tiga minggu dan pemogokan oleh banyak pegawai pemerintah.

Sanksi buat Jenderal Militer


Beberapa negara telah memberikan sanksi kepada para jenderal Myanmar atas pelanggaran HAM akibat kudeta militer. Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada dua jenderal, anggota junta militer Myanmar, serta mengancam akan mengambil langkah lanjutan atas kudeta di negara itu.

AS memberikan sanksi kepada Jenderal Maung Maung Kyaw yang merupakan kepala pasukan angkatan udara, dan Letnan Jenderal Moe Myint Tun, mantan kepala staf angkatan darat dan komandan biro operasi khusus di militer.

Sanksi yang diberikan berupa pembekuan aset dalam bentuk apapun yang mereka miliki di AS. Pemerintahan Joe Biden juga melarang warga Amerika menjalin relasi dengan mereka.

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Inggris menjatuhkan sanksi kepada tiga pejabat junta termasuk Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri. Sanksi ditujukan kepada Menteri Pertahanan Jenderal Mya Tun Oo, Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Soe Htut, dan Wakil Menteri Dalam Negeri Letjend Than Hlaing.

Reporter: Antara