Israel Serang Palestina, Bagaimana Awal Mula Konfliknya?

ANTARA FOTO/Jojon/rwa.
Seorang anak mengibarkan bendera Palestina di Masjid Raudhatul Jannah saat aksi solidaritas donasi untuk Palestina, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (19/5/2021). Aksi penggalangan dana tersebut akan disumbangkan ke masyarakat Palestina sebagai bentuk dukungan kebebasan Palestina.
Penulis: Safrezi Fitra
20/5/2021, 13.41 WIB

Israel telah melancarkan serangkaian serangan udara di kota Gaza, Palestina. Ratusan orang tewas dan ribuan orang luka-luka. Israel juga melakukan pengusiran paksa warga Palestina dari Sheikh Jarrah serta kekerasan terhadap warga Palestina yang terjadi di Masjid Al-Aqsa

Mereka mengklaim ini merupakan balasan dari serangan kelompok pejuang Palestina, Hamas, ke wilayah yang diduduki Israel. Laporan pasukan keamanan Israel atau Israel Defence Force (IDF) mengatakan 4.000 roket telah ditembakkan milisi Hamas dalam 10 hari terakhir.

Mengutip kantor berita AFP, Rabu (19/5), Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan rentetan gempuran Israel yang nyaris tanpa henti telah menewaskan setidaknya 217 warga Palestina, termasuk 63 anak-anak, dan melukai lebih dari 1.400 orang. Ini terjadi hanya dalam sepekan di wilayah yang dikuasai kelompok Hamas tersebut.

Menurut PBB, sekitar 58.000 warga Palestina telah mengungsi dan 2.500 orang telah kehilangan rumah mereka sejak Israel memulai gempuran ke Gaza.

Serangan Israel yang bertubi-tubi telah membuat dua juta warga Palestina di Gaza menderita. Sedangkan korban tewas di pihak Israel hanya 12 orang ketika tembakan roket yang ditembakkan Hamas ke wilayah Eshkol, Israel selatan menewaskan dua warga negara Thailand yang bekerja di sebuah pabrik dan melukai beberapa lainnya.

Sementara itu, sesi sidang Dewan Keamanan PBB pada Selasa (18/5) kembali berakhir tanpa konsensus. Ini merupakan sesi yang keempat kalinya digelar sejak konflik Israel-Palestina memanas. Sama seperti sesi-sesi sebelumnya, Amerika Serikat, sekutu utama Israel, terus memblokir adopsi pernyataan bersama yang menyerukan penghentian kekerasan di Gaza.

Awal Mula Konflik Israel-Palestina

Konflik Israel–Palestina bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel memiliki satu pandangan yang sama dan sebaliknya Palestina.

Terdapat kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial komunitas lainnya, dan sebagian menganjurkan solusi dua negara. Sebagian lagi menganjurkan dua bangsa dengan satu negara sekuler yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina dimulai sejak akhir abad ke -19. Pada 2 November 1917 Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan ”tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina.

Konflik sengit mulai terjadi karena masalah wilayah teritori. Secara sepihak, Israel mengumumkan diri sebagai negara yahudi. Sedangkan komunitas arab tidak bisa menerima.

Akibatnya Inggris hengkang dari Palestina, sedangkan negara Arab seperti Mesir, Suriah, Irak, Lebannon, Yordania, dan Arab Saudi mulai menabuh genderang perang melawan Israel.

Pembantaian orang yahudi yang diklaim mencapai enam juta orang Yahudi di Eropa sepanjang Perang Dunia II, membuat dorongan mendirikan negara Yahudi (Israel) menjadi semakin kuat.

Pada 1935, angka imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat. Antara 1933-1936 lebih dari 164.000 imigran Yahudi tiba di Palestina. Pada 1936, populasi warga Yahudi mencapai 370.000 orang membuat hubungan antara warga Arab dan Yahudi semakin panas.

Pada 1936-1939 terjadilah konflik terbesar dalam sejarah mandat Palestina, yakni Revolusi Arab. Faktor lain pemicu penemuan kiriman senjata dalam jumlah besar di pelabuhan Jaffa yang ditujukan untuk Haganah, pasukan paramiliter Yahudi. Fakta ini memunculkan ketakutan bahwa Yahudi akan mengambil alih Palestina semakin meningkat.

Perang Arab-Israel

Yerusalem titik lokasi konfrontasi antara orang Yahudi dan Arab selama kurang lebih seabad dan menjadi salah satu kota yang diperebutkan. Hingga 1948, penyebutan Palestina biasanya mengacu pada wilayah geografis yang terletak di antara Laut Mediterania dan Sungai Yordan.

Orang Arab menyebut masyarakat di wilayah itu sebagai orang Palestina sejak awal abad ke-20. Inggris sempat menguasai daerah tersebut setelah Kekaisaran Ottoman kalah dalam Perang Dunia I.

Kemudian, tanah itu dihuni oleh minoritas Yahudi dan mayoritas Arab. Setelah lebih dari dua dekade pemerintahan Inggris,

Pada 1947, PBB mengusulkan membagi wilayah yang diperebutkan menjadi tiga bagian; satu untuk orang Yahudi, satu untuk orang Arab, dan satu lagi perwalian internasional di Yerusalem dengan status khusus.

Orang-orang Arab tidak menerima kesepakatan itu dan mengatakan PBB tidak punya hak untuk mengambil tanah mereka. Perang pun pecah. Pada 1949, Inggris menarik diri dari Palestina dan Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara merdeka.

Perang Arab-Israel membuat 700.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka. Ini menjadi eksodus massal yang dikenal sebagai ‘Nakba‘, bahasa Arab untuk ‘malapetaka’.

Narasi Palestina mengatakan Zionis, yang mendukung pembentukan kembali tanah air Yahudi di Israel, mulai memaksa orang-orang keluar dari rumah mereka. Sedangkan versi Israel, ada pemimpin Arab yang mendorong orang-orang untuk pergi dan beberapa orang Arab pergi secara sukarela.

Rangkaian Kesepakatan Belum Bisa Mendamaikan

Setelah bertahun-tahun konflik yang diwarnai kekerasan, kedua belah pihak mencapai kesepakatan pada 1993. Palestina mengakui negara Israel dan Israel akan mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai perwakilan sah rakyat Palestina.

Kesepakatan dalam Perjanjian Oslo ini membuat Otoritas Palestina memiliki beberapa kekuasaan pemerintahan sendiri yang terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Sebenarnya ini hanya kesepakatan sementara, sebelum apa yang seharusnya menjadi perjanjian damai komprehensif dalam lima tahun. Masalahnya, kesepakatan ini tidak terjadi. KTT perdamaian yang diselenggarakan AS pun gagal.

Kunjungan Ariel Sharon yang saat itu akan menjadi Perdana Menteri Israel ke Kuil Mount di Yerusalem Timur, oleh Palestina dianggap sebagai penegasan kedaulatan Israel atas Masjid Al-Aqṣā (situs tersuci ketiga Islam). Ini juga menjadi salah satu alasan utama yang mengarah pada pemberontakan dengan kekerasan warga Palestina.

Dalam lima tahun setelahnya, konflik terus memanas. Sekitar 3.000 korban dari warga Palestina dan 1.000 korban Israel. Banyak warga sipil Israel tewas karena aksi bom bunuh diri warga Palestina.

Israel pun mundur dari Gaza, dan pada pertengahan 2000-an Hamas sebuah faksi fundamentalis muslim Sunni Palestina yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh banyak negara mengambil alih wilayah pesisir. Fatah, organisasi Palestina yang lebih umum tetap mengendalikan Otoritas Palestina yang diakui secara eksternal yang berbasis di Tepi Barat.

Reporter/Penyumbang Bahan: Muhammad Fikri (Magang)