Produktivitas Global Hilang Rp23.000 T per Tahun Imbas Perubahan Iklim
Penelitian terbaru dari Universitas Duke menemukan bahwa peningkatan suhu dan kelembaban sepanjang hari karena perubahan iklim akan mengurangi jumlah waktu kerja. Terutama bagi pekerja lapangan, seperti di bidang pertanian dan konstruksi untuk bekerja dengan aman.
Sehingga kondisi tersebut akan berdampak pada berkurangnya produktivitas secara signifikan di seluruh dunia. Dalam laporannya, diperkirakan nilai kerugian produktivitas yang hilang dapat mencapai US$ 1,6 triliun setiap tahun bila kenaikan suhu dari perubahan iklim melampaui 2°C.
Penelitian ini menemukan data terbaru bahwa pekerja di daerah tropis dan subtropis, khususnya di Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Pasifik Barat, akan mengalami dampak yang paling parah. Di Jakarta misalnya, jika pemanasan terus meningkat pada suhu 4°C durasi kerja pukul 9 pagi hingga 4 sore, maka para pekerja luar ruangan akan kehilangan waktu produktif lebih dari 15 menit setiap jamnya.
"Sangat disayangkan, dampak yang akan sering dirasakan oleh kebanyakan negara dan penduduk terdampak oleh hilangannya produktivitas saat ini dan di masa depan," kata Peneliti perubahan iklim di Nicholas School of The Environment di Universitas Duke, Luke Parsons, dikutip Jumat (17/12).
Sebab, kebanyakan pekerja lapangan di daerah tropis menurut dia harus berhenti bekerja di siang hari karena suhu sudah terlalu panas. Meski begitu, sekitar 30% dari hilangnya produktivitas tersebut saat ini dapat dipindahkan di waktu pagi hari.
"Namun dengan setiap kenaikan 1°C dari perubahan iklim, kemampuan para pekerja untuk beradaptasi dengan cara ini akan terus berkurang karena waktu-waktu teduh untuk bekerja akan berkurang setiap harinya,” ujarnya.
Menurut Parsons, bila rata-rata temperatur global meningkat sebanyak 2°C dibandingkan saat ini, maka hilangnya produktivitas pada jam-jam aman atau teduh setiap harinya akan melebihi kehilangan pada jam-jam paling panas saat ini.
Pekerjaan-pekerjaan esensial seperti pertanian dan konstruksi akan menjadi hampir tidak mungkin dilakukan dengan aman. Khususnya pada jam-jam siang hari di berbagai lokasi sepanjang musim panas.
Menurut studi ini, diperkirakan negara seperti India, China, Pakistan, dan Indonesia, di mana sebagian besar populasinya masih bekerja di luar ruangan akan mengalami kerugian paling besar. Sementara, 14 negara yang lebih kecil populasinya juga akan mengalami kehilangan produktivitas per kapita yang besar.
Negara-negara tersebut antara lain Bangladesh, Thailand, Gambia, Senegal, Cambodia, United Arab Emirates, Bahrain, Qatar, Brunei Darussalam, Ghana, Togo, Benin, Sri Lanka, and Nauru.
Parsons sendiri dan rekan-rekan penulisnya mempublikasikan hasil penelitian tersebut pada 14 Desember di jurnal Nature Communications. Penelitian mereka menunjukkan berbagai skenario proyeksi hilangnya produktivitas pada kenaikan temperatur global 1°C, 2°C, 3°C, dan 4°C dibandingkan saat ini.
“Analisis kami menunjukkan bahwa kita masih dapat menghindari sebagian hilangnya waktu produktivitas ini dengan memindahkan jadwal pekerjaan ke jam-jam lebih pagi atau dini hari. Namun bila peningkatan temperatur global melebihi 1°C saja, maka hal ini akan menjadi semakin sulit,” ujar Parsons.
Para peneliti menggunakan gabungan data meteorologis hasil observasi dengan proyeksi model perubahan iklim tentang temperatur dan kelembaban untuk mengestimasi paparan panas lembab, kehilangan produktivitas saat ini, maupun proyeksi kehilangan produktivitas di masa mendatang akibat peningkatan temperatur.
Parsons menulis studi ini bersama Drew Shindell dan Yugiang Zhang dari Universitas Duke, Michelle Tigchelaar dari Universitas Stanford, dan June Spector dari Universitas Washington. Dana untuk penelitian ini diberikan oleh NASA.