RI Butuh Rp 3.779 T Mitigasi Perubahan Iklim dan Turunkan Emisi Karbon
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa estimasi biaya akumulatif yang dibutuhkan Indonesia untuk memitigasi perubahan iklim, termasuk untuk menurunkan emisi karbon, sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) mencapai Rp 3.779 triliun hingga 2030.
Angka tersebut berdasarkan referensi dari peta jalan (roadmap) NDC Mitigasi Indonesia dan Kementerian Lingkhungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menggunakan pendekatan biaya aksi mitigasi.
"Indonesia berkomitmen akan menurunkan emisi CO2 pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen kalau kita mendapatkan bantuan internasional," katanya dalam IAI Sustainability Roundtable Discussion di Jakarta, Selasa (16/11).
Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris atau Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen NDC pada 2016. Berdasarkan dokumen NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% melalui kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Secara rinci, kebutuhan pendanaan mitigasi perubahan iklim tersebut jika dilihat per sektor meliputi sektor kehutanan Rp 93,28 triliun, energi dan transportasi Rp 3.500 triliun, IPPU Rp 0,92 triliun, limbah Rp 181,4 triliun, serta pertanian Rp 4,04 triliun.
Wamenkeu menuturkan jumlah itu tergolong sangat besar mengingat upaya Indonesia dalam menangani perubahan iklim tidak dari level nol, karena telah memiliki pembangkit-pembangkit energi listrik berbasis batu bara, solar, serta fosil. Simak databoks berikut:
Ia menjelaskan biaya itu akan digunakan untuk dua hal yakni memberikan kompensasi terhadap pembangkit-pembangkit berbasis bahan bakar fosil serta untuk mengubah pembangkit yang telah ada ke dalam Energi Baru Terbarukan (EBT).
Sementara berdasarkan referensi dari Second Biennial Update Report dan KLHK pada 2018, biaya mitigasi perubahan iklim untuk mencapai NDC adalah sebanyak Rp3.461 triliun hingga 2030.
Biaya Rp3.461 triliun itu meliputi sektor kehutanan Rp 77,82 triliun, energi dan transportasi Rp 3.307,2 triliun, IPPU Rp 40,77 triliun, limbah Rp 30,35 triliun, serta pertanian Rp 5,18 triliun. “Kita lihat dua sektor yang besar adalah kehutanan serta energi dan transportasi,” ujarnya. Simak databoks berikut:
Sejumlah biaya itu akan digunakan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 29 persen di sektor kehutanan sebanyak 497 juta ton CO2e, energi dan transportasi 314 juta ton CO2e, limbah 11 juta ton CO2e, pertanian 9 juta ton CO2e, serta IPPU 3 juta ton CO2e.
Sedangkan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 41 persen dengan biaya bantuan internasional akan dilakukan terhadap sektor kehutanan sebanyak 692 Mton CO2e, energi dan transportasi 446 Mton CO2e, limbah 40 Mton CO2e, pertanian 4 Mton CO2e, serta IPPU 3,25 Mton CO2e.
"Kebutuhan kita di sektor energi sangat besar. Sektor kehutanan memang dalam juta ton emisi yang dikurangi itu besar, tapi biaya yang diperlukan relatif kecil dibanding energi dan transportasi,” kata Wamenkeu.
Upaya ini harus dilakukan karena sejak 2010 sampai 2018 emisi gas rumah kaca (GRK) nasional naik sekitar 4,3% per tahun serta dari 1981 sampai 2018 juga terjadi kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat celcius per tahun di Indonesia.
Selain itu, permukaan air laut turut mengalami kenaikan sekitar 0,8 sampai 1,2 centimeter per tahun sedangkan 65% penduduk tinggal di wilayah pesisir sehingga perubahan iklim menjadi ancaman besar bagi Indonesia.
Terlebih lagi, perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi yang saat ini mendominasi bencana di Indonesia. "Di sisi pemerintah, kami melalui APBN selalu berusaha menghitung berapa dari APBN yang merupakan dan boleh kita klaim sebagai green activities, untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ujarnya.