Memperingati Hari Bumi, Ini 7 Peristiwa Signifikan Setahun Terakhir

Freepik
Ilustrasi, ajakan melestarikan lingkungan pada peringatan Hari Bumi.
Penulis: Agung Jatmiko
22/4/2023, 12.28 WIB

Setiap tahun masyarakat dunia memperingati Hari Bumi, yang jatuh pada 22 April. Tanggal tersebut ditetapkan, karena merupakan penanda lahirnya gerakan lingkungan modern yang muncul pada 1970.

Sejak gerakan lingkungan modern muncul, umat manusia telah mengambil langkah-langkah baru yang mengejutkan untuk mencegah ancaman besar terhadap lingkungan, seperti polusi beracun, perusakan habitat, kepunahan, dan perubahan iklim.

Selama setahun terakhir, gerakan advokasi terhadap lingkungan terus berkembang, di mana dunia sekarang memiliki target konservasi darat dan laut internasional terbesar yang pernah ada, sebuah perjanjian untuk melindungi laut lepas, dan komitmen untuk menghapus sepenuhnya gas rumah kaca yang paling kuat.

Di Amerika Serikat (AS), yang merupakanpenghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia dan penghasil karbon dioksida terbesar kedua saat ini, pemerintah mengeluarkan lebih banyak uang dari sebelumnya untuk mengatasi perubahan iklim.

Selama setahun terakhir, dunia kemungkinan besar akan memanas melewati batas 2,7 derajat Fahrenheit (oF) atau 1,5 derajat Celsius (oC) dari perjanjian iklim Paris.

Namun, hampir seluruh negara-negara di dunia secara bersamaan bekerja melawan komitmen iklim mereka sendiri dengan mengesahkan lebih banyak pengembangan bahan bakar fosil yang selanjutnya akan berkontribusi terhadap pemanasan.

Berikut ini adalah tujuh persitiwa signifikan yang berpengaruh bagi kelestarian lingkungan sejak Hari Bumi 2022 lalu.

1. Negara-negara Kaya Akhirnya Mulai Menggelontorkan Uang

Pada negosiasi iklim COP27 di Mesir tahun lalu, negara-negara kaya akhirnya mencapai kesepakatan untuk memberi kompensasi kepada negara-negara miskin atas kerusakan iklim yang sedang berlangsung.

Proposal itu kurang detail, tetapi fakta bahwa kesepakatan tercapai merupakan langkah maju yang signifikan. Ini membantu beberapa daerah yang paling menderita menghadapi perubahan iklim, dan dengan menetapkan label harga untuk kerusakan iklim, seluruh dunia memiliki insentif yang lebih kuat untuk berbuat lebih banyak agar pemanasan tetap terkendali.

Negara-negara kaya juga mencapai kesepakatan iklim langsung pada tahun lalu, di mana yang terbesar adalah paket pembiayaan senilai US$ 20 miliar dari AS, Jepang, dan negara-negara Eropa untuk membantu Indonesia lepas dari batu bara.

Mereka juga mencapai kesepakatan serupa senilai US$ 15,5 miliar dengan Vietnam. Kesepakatan sedang dikerjakan untuk India dan Senegal, dan mungkin lebih banyak lagi yang akan dilakukan.

Kemudian, pekan ini AS mengumumkan akan menyumbang US$ 1 miliar untuk Dana Iklim Hijau PBB, yang mendanai upaya adaptasi dan mitigasi di negara-negara berkembang.

2. Perjanjian Iklim Bipartisan Disahkan Senat AS

Dengan perpecahan politik yang sengit di AS, sulit untuk menyelesaikan apa pun. Namun, tahun lalu 21 Republikan di Senat memilih bersatu dengan Demokrat untuk meloloskan Amandemen Kigali ke Protokol Montreal.

Perjanjian itu menghapus kelas bahan kimia yang disebut hidrofluorokarbon (HFC), yang digunakan di lemari es dan AC. Bahan kimia ini jika bocor, menimbulkan dampak ribuan kali lebih kuat daripada karbon dioksida (CO2) terhadap pemanasan global.

Mengurangi sejumlah kecil polusi HFC menghasilkan keuntungan yang besar. Amandemen Kigali dinilai siap untuk mencegah pemanasan lebih dari 1 oF atau 0,5 oC pada akhir abad ini.

3. Munculnya Kesepakatan Baru yang Akan Melestarikan Hampir Sepertiga Bumi

Negara-negara juga berkumpul tahun lalu untuk menyusun perjanjian demi melindungi keanekaragaman hayati. Pada pertemuan COP15 di Montreal, hampir setiap negara di dunia sepakat untuk bekerja sama melindungi spesies dari kepunahan dan menghentikan penurunan kualitas tanah, langit dan perairan.

Kesepakatan tersebut, yang dikenal dengan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework, menetapkan 23 target yang harus dicapai oleh negara-negara pada 2030. Di antaranya, negara-negara harus menghentikan kegiatan subsidi yang terus merusak hutan, seperti pertambangan dan perikanan industri.

Perjanjian tersebut juga melindungi setidaknya 30% dari semua tanah dan air di Bumi pada 2030, yang menjadi komitmen konservasi tanah dan laut terbesar dalam sejarah. Negara-negara kaya juga menjanjikan US$ 30 miliar untuk upaya ini, yang kira-kira tiga kali lipat dari jumlah yang dibelanjakan saat ini.

4. Laut Memiliki Perisai Hukum Baru

Hingga baru-baru ini, perairan lepas merupakan "lubang hitam" secara hukum, di mana tidak ada negara yang memiliki yurisdiksi pada area 200 mil laut dari garis pantai suatu negara.

Area ini, yang mencakup setengah luas permukaan Bumi, merupakan rumah bagi hewan terbesar dan makhluk terkecil seperti fitoplankton, yang menyediakan sekitar setengah dari oksigen yang kita hirup.

Sekarang, setelah 20 tahun perencanaan dan negosiasi, ada kerangka hukum, yang didukung oleh hampir semua negara di dunia, untuk melindungi kawasan ini. Perjanjian itu menetapkan kawasan lindung di lautan, mirip dengan taman nasional, di mana penangkapan ikan, penambangan, dan pembuangan dilarang.

Wilayah ini akan berkembang seiring waktu dan akan diperhitungkan dalam target yang disebutkan di atas dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global.

Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih harus mengadopsi perjanjian tersebut, dan negara-negara masih harus meratifikasinya, ini merupakan langkah signifikan untuk mencapai kelestarian lingkungan.

5. Invasi Rusia ke Ukraina Mempercepat Upaya Peralihan Negara-negara Eropa dari Bahan Bakar Fosil

Rusia adalah pengekspor gas alam terbesar di dunia, dan invasinya ke Ukraina tahun lalu, banyak pelanggan terbesarnya di Eropa mencari alternatif. Batubara akhirnya mengisi beberapa celah, tetapi krisis energi setelah invasi juga memaksa Eropa untuk memperhitungkan seluruh hubungannya dengan bahan bakar fosil.

Lonjakan harga minyak dan gas bersamaan dengan penurunan biaya secara keseluruhan pada tenaga angin dan surya meyakinkan para pembuat kebijakan untuk memanfaatkan lebih banyak energi bersih.

Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) mengatakan, setelah invasi, keamanan energi muncul sebagai motivasi kuat tambahan untuk mempercepat penerapan energi terbarukan.

Dari sisi individu, peralihan ke energi terbarukan di Eropa juga cukup masif. Pada 2022 rumah tangga di Eropa memasang gigawatt surya tiga kali lebih banyak daripada yang dilakukan pada 2021. Ini akan meningkat tiga kali lipat lagi dalam empat tahun ke depan.

6. AS Akhirnya Memiliki Undang-undang untuk Menangani Perubahan Iklim

Pertengahan tahun lalu, Presiden AS Joe Biden dan anggota Kongres dari Partai Demokrat meloloskan pengeluaran yang sangat besar untuk mendorong ekonomi AS keluar dari ketergantungan dengan bahan bakar fosil.

Undang-undang (UU), yang dikenal sebagai UU Pengurangan Inflasi, atau Inflation Reduction Act (IRA), mencakup US$ 369 miliar untuk serangkaian prioritas iklim.

Konsumen akan melihat keringanan pajak dan potongan harga yang ditujukan untuk melistriki rumah dan mobil, utilitas akan menerima investasi untuk melakukan transisi dari batubara, minyak dan gas, karena akan dikenakan biaya baru untuk polusi metana mereka, dan komunitas yang telah dirugikan oleh redlining kebijakan dan rasisme lingkungan akan menerima hibah untuk membersihkan polusi lokal.

UU tersebut pada akhirnya akan menjadi penanda penting dalam mendorong AS menuju masa depan dengan lebih banyak transportasi listrik, rumah listrik, dan menciptakan energi bersih yang tumbuh di dalam negeri. Tapi IRA masih awal dalam penerapannya di tingkat federal, negara bagian, dan lokal.

Jika peluncuran itu berjalan dengan baik, AS akhirnya dapat memenuhi tujuan pemerintahan Biden untuk memangkas separuh polusi gas rumah kaca dibandingkan dengan tingkat pada 2005 silam serta pada akhir dekade ini.

AS sudah sepertiga dari jalan ke sana, dan IRA memberikan dorongan ekstra, sambil membantu membersihkan polusi udara dan air sehari-hari yang harus dihadapi masyarakat AS.

7. Upaya Transisi ke Mobil Listrik Gencar Dilakukan

Transportasi adalah sumber polusi iklim terbesar di dunia. Oleh karena itu, mengalihkan mobil dan truk dari bensin dan solar ke sel bahan bakar dan baterai merupakan langkah penting untuk memenuhi tujuan perubahan iklim.

Kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) juga terhindar dari polutan berbahaya seperti partikulat dan nitrogen oksida. Tapi EV hanya mencapai 5,8% dari mobil yang terjual di AS tahun lalu dan lebih dari 10% di seluruh dunia.

Untuk mempercepat tren ini, California tahun lalu menyetujui garis finis untuk kendaraan berbahan bakar fosil pada 2035. Negara bagian lain seperti New York dan Massachusetts telah bergabung dalam perlombaan tersebut.

Baru-baru ini, Badan Perlindungan Lingkungan mengusulkan seperangkat peraturan polusi baru untuk mobil, pick-up, SUV, dan truk pengiriman. Aturan tersebut berarti bahwa pada 2032, dua pertiga mobil yang dijual di AS harus menggunakan elektron.

Uni Eropa juga mengusulkan larangan kendaraan bensin dan diesel pada 2035. Dengan penutupan yang menjulang di pasar mobil terbesar di dunia, industri otomotif global mendapatkan sinyal keras bahwa hari-hari mesin pembakaran internal sudah dihitung.

Indonesia sendiri menargetkan pada 2030 ada 187.500 mobil listrik dan 1,2 juta motor listrik meluncur di jalanan Indonesia.Guna mengakselerasi pertumbuhan mobil listrik di tanah air, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah meluncurkan sejumlah kebijakan pendukung. Kebijakan yang dimaksud, di antaranya adalah merevisi ketentuan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan listrik.

Ketentuan PPnBM mobil listrik tersebut diatur ulang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2021 tentang Perubahan PP Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pada pasal 36 mengatur tarif PPnBM 0% yang berlaku untuk kendaraan bermotor yang menggunakan teknologi battery electric vehicles (BEV) atau fuel cell electric vehicle.