Saat ini, dunia bisa jadi berada di masa dengan risiko tertinggi perang yang melibatkan senjata nuklir. Eropa tampak jadi pusat risiko di tengah perang Rusia dan Ukraina. Namun, risiko sebetulnya telah meningkat juga di Timur Tengah dan Asia Pasifik.
Pada Maret lalu, Vladimir Putin, dalam pidato pertama setelah terpilih sebagai presiden Rusia untuk kelima kalinya mengatakan, “Saya telah membuatnya terang untuk semua orang, bahwa (dunia) selangkah lagi menuju perang dunia ketiga.”
Pernyataan ini disampaikan Putin sebagai ancaman bagi negara-negara di belakang NATO yang ikut campur dalam perang Rusia dengan Ukraina. Perang Rusia dan Ukraina pecah pada 24 Februari 2022 setelah militer Rusia meluncurkan rudal ke berbagai kota di Ukraina. Putin menyalahkan NATO yang dipimpin Amerika Serikat yang terus memperluas aliansi militer ke Eropa Timur.
Pada Mei, Putin kembali mengancam dengan menyebut bakal ada “konsekuensi serius” terkait pasokan amunisi kepada Ukraina. Putin mengatakan negara-negara Eropa anggota NATO perlu waspada terhadap teritorinya yang kecil dan padat penduduk. Seraya memperjelas ancaman, Mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev sempat mengatakan,“Bisa terjadi miskalkulasi dalam penggunaan senjata taktis nuklir dan ini akan berakibat fatal.”
Sepanjang Mei hingga Juli, militer Rusia telah melakukan setidaknya tiga kali latihan militer menggunakan senjata nuklir taktis. Latihan pada Juni lalu dilakukan bersama sekutunya Belarusia. Sebelum invasi Rusia ke Ukraina, Presiden Belarusia mengonfirmasi telah mendapatkan kiriman senjata nuklir dari Rusia dan siap meluncurkannya sewaktu-waktu. Ini telah membuat Ukraina dan negara tetangganya yang lain yang juga anggota NATO yaitu Polandia, Estonia, Latvia, dan Lithuania meningkatkan kewaspadaan.
Dibanjiri kecaman, Jenderal Senior Rusia balik menuduh aliansi NATO yang dipimpin Amerika Serikat juga telah menggelar latihan untuk menghadapi potensi perang nuklir dengan Rusia.
Saat berita ini ditulis, situasi semakin panas. Militer Ukraina berhasil memukul mundur militer Rusia di Kursk. Ini merupakan agresi militer Ukraina tersukses karena berhasil masuk cukup dalam ke teritori Rusia. Di sisi lain, Belarusia mengirimkan tank-tank militer ke perbatasan dengan Ukraina.
Sementara itu, kebakaran terjadi di pembangkit listrik tenaga nuklir milik Ukraina yang terbesar di Eropa, Zaporizhzhia Nuclear Power Plant, yang telah dua tahun berada dalam tawanan Rusia. Lokasi pembangkit tersebut telah berulang kali menjadi tempat baku tembak dan menciptakan kekhawatiran internasional bakal terjadinya tragedi yang lebih buruk dari Chernobyl. Pada 1986, pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl meledak dan menyebabkan kebocoran radioaktif dan bencana radiasi yang mematikan di Ukraina, Rusia, dan Belarusia.
Perang yang melibatkan nuklir juga membayangi Timur Tengah. Iran dan Israel terlibat konfrontasi terbuka mulai April setelah Israel menyerang Kedutaan Besar Iran di Damascus, Suriah. Serangan tersebut membunuh tujuh anggota Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC), termasuk dua jenderal yang memimpin Quds Force, ranting IRGC yang fokus pada perang npn-konvensional dan operasi intelijen. Serangan tersebut dibalas Iran dengan meluncurkan ratusan misil ke Israel.
Tensi politik semakin panas setelah pada akhir Juli lalu Komandan Hezbullah Fuad Shukr dan pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh tewas dibunuh. Israel mengakui telah membunuh Fuad Shukr dan diyakini berada di belakang pembunuhan Haniyeh.
Pada April, Iran sempat memberikan peringatan bahwa pihaknya bisa saja mengembangkan bom nuklir jika Israel mengancam keberlangsungan Iran dengan menyerang pembangkit listrik tenaga nuklirnya. “Kami belum memutuskan untuk membuat bom nuklir tapi bila keberlangsungan Iran terancam, tak ada opsi selain mengubah doktrin militer kami,” kata Kamal Kharrazi, Penasehat Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, sebagaimana dilaporkan Iran’s Student News Network. Selama ini, Khamaeni melarang pengembangan senjata nuklir melalui fatwa haram.
Israel sendiri dipercaya luas memiliki senjata nuklir meskipun negara tersebut tidak pernah mengakuinya. Banyak yang memperkirakan bahwa Israel memiliki sekitar 90 hulu ledak nuklir berbasis plutonium dan telah memproduksi cukup plutonium untuk 100-200 senjata.
Di Asia Pasifik, terjadi peningkatan risiko konflik antara Amerika dan China terkait Taiwan. Posisi geografis Taiwan membuatnya berada dalam pusaran pertarungan kekuasaan dan pengaruh di Indo-Pasifik antara China dengan Amerika dan sekutunya.
Dalam analisisnya yang diterbitkan Foreign Policy, mantan pejabat inteligen nasional Amerika Markus Garlauskas mengatakan, konflik antara Amerika dan China terkait Taiwan hampir pasti akan menjadi perang di seluruh wilayah, melibatkan Semenanjung Korea, dan menarik masuk Korea Utara serta Korea Selatan.
Titik Terendah Perjanjian Non-Proliferasi: Senjata Nuklir Menyebar Jauh
Negara-negara pemegang senjata nuklir semakin intens memainkan strategi saling gertak dan saling ancam lewat distribusi senjata nuklir hingga latihan-latihan menggunakan senjata pemusnah massal sebagai bagian dari strategi nuclear detterance. Perkembangan ini menandakan titik terendah perjanjian pembatasan dan pelucutan senjata nuklir atau non-proliferasi senjata nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty/NPT) yang berumur lebih dari setengah abad.
Perjanjian yang diteken 190 negara tersebut membagi negara-negara dalam dua kelompok. Kelompok pertama negara-negara pemegang senjata nuklir (NWS) yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, dan Inggris. Kelompok kedua, negara-negara non pemegang senjata nuklir (NNWS). Lima negara tak ikut komiten ini yaitu Sudan Selatan, India, Israel, dan Pakistan. Satu lainnya, Korea Utara, mundur dari perjanjian pada 2003.
Di bawah perjanjian tersebut, lima negara NWS berkomitmen untuk mengurangi, membatasi, dan menghancurkan senjata nuklir dan senjata penghacur massal lainnya, sementara negara-negara NNWS sepakat untuk tidak mengembangkan dan mengadopsi senjata yang dimaksud.
Namun, di bawah kerja sama “berbagi nuklir” atau nuclear sharing NATO, Belgia, Jerman, Italia, Belanda, dan Turki bisa memperlengkapi tentaranya dengan senjata taktis nuklir B61 milik Amerika Serikat. Sebagian besar negara-negara tersebut juga sepakat untuk menyimpan senjata penghancur massal tersebut.
Terbaru, Polandia mengajukan diri untuk ikut dalam nuclear sharing NATO di tengah kekhawatiran akan Rusia dan aliansinya Belarusia. Sementara itu, Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson dalam wawancara beberapa waktu lalu mengungkapkan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan senjata nuklir milik Amerika Serikat dalam kondisi perang.
Rusia juga mendistribusikan senjata nuklir ke aliansinya. Sebelum invasi Rusia ke Ukraina, Presiden Belarusia mengonfirmasi telah mendapatkan kiriman senjata nuklir dari Rusia dan siap meluncurkannya sewaktu-waktu. Dalam pertemuan dengan wartawan Juni lalu, Presiden Putin mengancam akan mendistribusikan senjata ke negara-negara aliansinya yang berdekatan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, bila Ukraina kedapatan menggunakan senjata dari barat untuk menyerang teritori Rusia dan menyebabkan kerusakan parah.
Persebaran senjata nuklir di Asia Pasifik juga makin mengkhawatirkan. Pada 2021, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat mengumumkan pakta AUKUS yang berisi kerja sama teknologi untuk keamanan Indo-pasifik – wilayah yang meliputi Samudra Hindia, Samudera Pasifik bagian barat dan tengah, serta laut-laut pedalaman di wilayah Indonesia dan Filipina. Pakta ini banyak dimaknai sebagai langkah strategis Amerika dan aliansinya untuk merespons agresi dan ambisi China di wilayah tersebut.
Salah satu isi pakta tersebut adalah pengembangan bersama kapal selam bertenaga nuklir untuk angkatan laut Australia. Meski bukan kapal selam yang bersenjatakan nuklir, namun biasanya digerakkan oleh material fisil yang diperkuat ke level yang mendekati atau cukup untuk menciptakan reaktor nuklir di senjata nuklir. Tak ayal, kesepakatan ini ditentang banyak negara karena dianggap melanggar pakta Non-Proliferasi Nuklir. Pada akhir tahun lalu, parlemen Amerika telah memberikan restu penjualan kapal selam yang dimaksud ke Australia. Kapal selam pertama dijadwalkan tiba pada 2030.
Pada Mei lalu, Senator Amerika Roger Wicker, pejabat tinggi Partai Republik di Komite Militer, dalam laporan berjudul "Peace Through Strength" menyarankan agar Amerika mempertimbangkan opsi baru, seperti nuclear sharing di Indo-Pacific and distribusi senjata nuklir taktis di Semenanjung Korea. Alasannya, Korea Utara terus mengembangkan senjata nuklir termasuk misil balistik yang bisa menyerang Amerika dan sekutu di Indo-Pasifik.
Juru Bicara Departemen Dalam Negeri Amerika membantah adanya rencana tersebut. Namun, pada Juni lalu, Korea Selatan menggelar pertemuan dengan Amerika di Seoul dalam rangka Nuclear Consultative Group Meeting. Dalam pertemuan yang melibatkan departemen pertahanan dan otoritas hubungan luar negeri, intelijen, dan militer kedua negara dibahas opsi integrasi kemampuan militer konvensional Korea Selatan dengan operasi nuklir Amerika untuk merespons ancaman misil dan nuklir Korea Utara.
Di tengah situasi ini, Putin yang baru memperbaharui sumpah sebagai Presiden Rusia melakukan lawatan-lawatan penting ke Cina dan Korea Utara. Pada Mei, Putin terbang ke Beijing menemui Presiden Xi Jin Ping dan menghasilkan pernyataan bersama. Berbeda dengan pertemuan di 2022, keduanya tak lagi bicara soal dukungan untuk non-proliferasi senjata nuklir. Keduanya juga tidak lagi mempertanyakan komiten non-proliferasi Amerika, Inggris, dan Australia terkait pakta AUKUS.
Berikutnya, pada Juni, Putin dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menandatangani perjanjian kemitraan strategis baru di Pyongyang. Pakta ini disebut-sebut sebagai kesepakatan paling signifikan yang ditandatangani oleh Rusia dan Korea Utara dalam beberapa dekade. Menurut teks pakta tersebut, Pasal 4 menyatakan bahwa jika salah satu negara "memasuki keadaan perang akibat agresi bersenjata," maka negara lainnya "harus segera memberikan bantuan militer dan lainnya dengan segala cara."