Jakarta Lakukan PSBB Atasi Covid-19, Ini Dampaknya ke Polusi Udara

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/pras.
Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (3/4/2020). Memasuki minggu ketiga imbauan kerja dari rumah atau work from home (WFH), kualitas udara di Jakarta terus membaik seiring dengan minimnya aktivitas di Ibu Kota. Berdasarkan data dari situs pemantauan udara AirVisual.com pada Kamis 3 April pada pukul 12.00 WIB, Jakarta tercatat sebagai kota dengan indeks kualitas udara di angka 55 atau masuk dalam kategori sedang.
8/4/2020, 13.33 WIB

Kondisi itu berbeda dengan sebelum merebaknya virus Corona. Data IQAIR pada Desember menunjukkan kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori tak sehat dengan poin di antara 101-150. 

Melansir Mongabay, Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan kualitas udara di Jakarta pada kategori terbaik nyaris setelah 28 tahun. Nilai polytan PM2,5 rata-rata sebesar 18,6 µg/m3 .

(Baca: Menelusuri Asal Teori Konspirasi 5G dan Corona, Serta Kebenarannya)

Lockdown Corona Memperbaiki Lingkungan

Namun bukan hanya Jakarta yang menikmati perbaikan kualitas udara. Melansir CNBC, kualitas udara di Tiongkok membaik sejak lockdown berlaku di negara itu.  Analisis milik Carbon Brief menyebut penggunaan energi dan emisi karbon di Tiongkok turun sebanyak 25%. Selain itu, penelitian milik Columbia University menyebutkan emisi karbon secara global juga berkurang 50%.

Tak hanya itu, dalam rentang 1 Januari sampai 12 Maret satelit ESA’s Sentinel-5P memperlihatkan konsentrasi nitrogen dioksida di Italia menurun drastis. Pada 12 Maret, seperti dikutip National Geographic, sekawanan lumba-lumba berenang mendekati dermaga Cagliari, Pulau Sardinia Italia. Hal ini terjadi karena perairan di daerah itu menjadi lebih jernih dan lalu lalang kapal menurun. Di Venesia, ikan-ikan kecil pun terlihat seiring perahu-perahu tak lagi beroperasi.

Semua kondisi tersebut, kata Bill Gates, mengindikasikan perbaikan lingkungan setelah Corona merebak dan pergerakan manusia terbatas.  “Saya telah meluangkan banyak waktu untuk bekerja di bidang iklim. Saya harus mengatakan selama beberapa bulan terakhir yang telah berjalan sekarang, dan sampai kita keluar dari krisis ini, Covid-19 mendominasi beberapa hal tentang iklim,” katanya, dalam sebuah acara bincang-bincang, TED Talks pada 24 Maret.

Mantan direktur senior Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat dan sekaligus asisten khusus mantan presiden AS Presiden Barack Obama, Jason Bordoff, turut berpendapat Covid-19 memberikan manfaat jangka pendek atas perbaikan iklim seiring dengan pembatasan penggunaan energi.

“Atau bahkan manfaat jangka panjang jika stimulus ekonomi dikaitkan dengan tujuan iklim, atau jika orang-orang terbiasa menggunakan telekomunikasi dan dengan demikian menggunakan lebih sedikit minyak di masa depan,” tulisnya, dalam opini yang dipublikasikan di Foreign Policy pada 27 Maret.

Ia juga menganggap positif upaya negara-negara dunia menutup kota, melarang perjalanan dan mengisolasi masyarakat. “Tindakan ekstrem yang memberi harapan kepada para aktivis iklim, bahwa kebijakan ambisius yang sama mungkin bisa mengatasi pemanasan global,” katanya.

Meskipun begitu, Pendiri Pasifik Institute Peter Gleick kepada CNBC menyatakan perbaikan iklim ini tak akan berlangsung lama. Karena, manusia akan segera kembali ke kehidupan normal selepas masa pandemi berakhir dan dunia akan kembali menghadapi bahaya lebih besar: perubahan iklim.

Oleh karena itu, Peter meminta kepada pemimpin-pemimpin dunia untuk memperhatikan pendapat para ilmuwan yang telah lama menyuarakan bahaya perubahan iklim.

Kontributor: Nobertus Mario Baskoro

Halaman: