Panduan Standar APD untuk Tenaga Medis yang Menangani Pandemi Corona

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/hp.
Pekerja membuat alat pelindung diri (APD) di PT Kasih Karunia Sejati , Bandulan, Malang, Jawa Timur, Senin (6/4/2020). Manajemen yang awalnya memproduksi celana jins memutuskan untuk mengalihkan ke pembuatan APD untuk membantu tenaga medis dalam menangani pasien pandemi corona.
Penulis: Sorta Tobing
7/4/2020, 15.04 WIB

Kebutuhan alat pelindung diri atau APD dalam bentuk baju hazmat terus meningkat setiap hari. Semuanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis yang menangani pandemi corona. Sebanyak 20 perusahaan tekstil di dalam negeri tengah memproduksi baju tersebut.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia Rizal Tanzil Rakhman menyebut total produksinya bisa mencapai 17 juta unit per bulan. "Kami masih mengumpulkan bahan bakunya karena APD jahitannya khusus, jadi tidak semua perusahaan bisa produksi," kata dia ketika dihubungi, Senin (6/4).

Pelaku industri garmen melakukan langkah ini untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Nantinya, bajut hazmat itu akan didistribusikan oleh pemerintah ke rumah sakit yang menangani Covid-19.

(Baca: Berbagai Jenis Masker dan Kemampuannya Menahan Partikel)

Bukan hanya dalam skala industri, pengusaha konveksi pun mengambil langkah serupa. Kantor berita Antara kemarin melaporkan, di Jalan Purnawirawan, Kota Bandarlampung, Lampun, ada perajin yang menghentikan sementara produksi seragam sekolah serta pakaian kantor dan beralih membuat baju hazmat.

“Kami melihat banyak yang membutuhkan baju ini dan Lampung masih minim APD. Saya tergerak memproduksinya,” kata pemilik konveksi Elmiyati.

Proses pembuatan baju hazmat untuk tenaga medis yang menangani virus corona ini sudah berjalan dua pekan. Awalnya, Elmiyati hanya membuat 25 baju hazmat per hari. Setelah permintaan meningkat, ia kini membuat 300 baju per hari.

Baju hazmat yang sudah ia kirimkan mencapai 1.500 potong. Harganya Rp 55 ribu per potong dengan bahan baku sesuai standar Dinas Kesehatan setempat.

(Baca: Satgas Covid-19: RI Bakal Produksi Massal APD dengan Bahan Baku Lokal)

Standar APD Sesuai Tingkat Perlindungan

Menurut Rekomendasi Standar Penggunaan APD untuk Penanganan Covid-19 di Indonesia, standar pemakaian APD untuk tenaga medis tergantung situasi dan kondisi penanganan pasien. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 itu menyebut ada tiga tingkat perlindungan.

Pertama, APD untuk tingkat perlindungan di fasilitas umum, tempat praktik dokter umum, dan ambulans ketika menangani pasien terduga virus corona. Untuk situasi seperti ini, para tenaga medis cukup mengenakan masker bedah tiga lapis, baju kerja standar rumah sakit, dan sarung tangan karet sekali pakai.

Kedua, APD untuk ruang poliklinik tempat pemeriksaan dan perawatan pasien dengan gejala gangguan pernapasan, pengambilan sampel nonpernapasan, dan bagian rawat jalan pasien demam. Para tenaga medis yang melakukan hal tersebut wajib mengenakan pelindung mata, penutup kepala, masker bedah, sarung tangan karet sekali pakai, dan baju terusan panjang (gown) standar rumah sakit.

(Baca: Krisis Ventilator di Tengah Pandemi Corona, Seberapa Penting Alat Ini?)

Tenaga medis mengenakan alat pelindung diri atau APD untuk menangani pasien suspect atau positif Covid-19. (ANTARA FOTO/Septianda Perdana/aww.)

Terakhir, APD untuk ruang prosedur dan tindakan operasi pada pasien suspect atau positif Covid-19, kegiatan yang menimbulkan aerosol pada pasien, ruang tindakan otopsi, dan pengambilan sampel pernapasan. Para tenaga medis yang menangani prosedur ini wajib mengenakan pelindung mata, penutup kepala, masker N95 atau yang setara, sarung tangan bedah karet steril sekali pakai, sepatu boots, dan gaun terusan menutup dari kepala hingga bagian kaki.

Baju terusan yang terakhir ini sering disebut sebagai hazmat. Dalam rekomendasi standar yang dikeluarkan oleh pemerintah, modelnya adalah coverall. Jadi dari kepala hingga mata kaki tertutup dalam satu terusan baju. Bagian yang terbuka hanya di muka, telapak tangan, dan bawah mata kaki.

Tujuan memakai model coverall adalah agar hazmat memberikan perlindungan 360 derajat ke seluruh tubuh. Baju ini sebaiknya sekali pakai karena penggunaannya untuk merawat pasien yang memiliki gejala dan positif Covid-19.

Tapi pemerintah memberikan sedikit kelonggaran. Baju hazmat yang terbuat dari polyester atau campuran katun-polyester dapat dipakai kembali setelah melalui proses pencucian steril sesuai standar rumah sakit.

(Baca: Pemerintah Sebar 7.000 APD dan 150 Ribu Masker ke Tenaga Medis Corona)

Untuk penutup kepala dan sepatu boots, setiap tenaga medis wajib mengenakannya. Ada dua jenis penutup kepala, tapi secara spesifikasi tidak ada perbedaan besar. Intinya pelindung kulit kepala, leher, dan rambut dari kontaminasi virus itu harus sekali pakai, tahan air, mudah disesuaikan, dan terdapat bagian terbuka di wajah yang tidak elastis.

Sepatu boots wajib berbahan karet tahan air supaya mudah dibersihkan dan disinfektan. Fungsinya adalah agar tidak licin, memberikan perlindungan ketika lantai basah dan dari cedera benda tajam.

Jika tidak tersedia boots karet, maka petugas kesehatan harus mengenakan sepatu tertutup jenis slip-on tanpa tali sepatu serta menutup telapak hingga pergelangan kaki. Warnanya terang agar dapat mendeteksi kemungkinan kontaminasi.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto