Gagal di Inggris & Belanda dalam Hadapi Corona, Apa Itu Herd Immunity?

ANTARA FOTO/REUTERS/John Sibley/AWW/dj
Ilustrasi. Inggris dan Belanda gagal menerapkan herd immunity dalam menghadapi virus corona. Jumlah kasus yang terlalu banyak dapat mengguncang fasilitas kesehatan di dua negara itu.
Penulis: Sorta Tobing
31/3/2020, 20.20 WIB

Kebijakan setiap negara dalam menghadapi virus corona berbeda-beda. Ada negara yang menerapkan langkah herd immunity atau kekebalan komunitas untuk mengatasi penyebaran Covid-19.

Inti dari herd immunity adalah kondisi ketika banyak orang dalam suatu komunitas memiliki imunitas untuk melawan virus dalam tubuh mereka. Ketika banyak orang sudah memiliki kekebalan, maka virus itu akan hilang dengan sendirinya.

Imunitas itu juga berfungsi untuk melindungi kelompok yang rentan, seperti lanjut usia, bayi, dan penderita penyakit kronis. Dokter dari Universitas East Anglia Paul Hunter menilai keberhasilan kekebalan komunitas bergantung pada jumlah kelompok kebal dalam suatu populasi.

Proporsi kelompok kebal yang dibutuhkan untuk menekan wabah bisa bervariasi, bergantung pada jenis penyakit dan infeksinya. “Untuk penyakit seperti campak yang sangat menular, Anda membutuhkan sekitar 90% orang yang kebal. Tapi untuk infeksi lain, Anda bisa sembuh dengan (propors) jauh lebih sedikit),” kata Hunter, melansir dari The Independent, Selasa (31/3).

(Baca: Pemprov Jakarta Lakukan 17.534 Rapid Test, 282 Orang Positif Corona)

Kondisi herd immunity umumnya diciptakan lewat vaksinasi, yakni menyuntikan obat penangkal penyakit kepada banyak orang secara bersama-sama. “Jika seseorang dengan campak dikelilingi oleh orang-orang yang divaksinasi campak, penyakit itu tidak mudah ditularkan kepada siapa pun, dan penyakit itu akan segera hilang,” demikian menurut Vaccine Knowledge Project Universitas Oxford.

Namun, bagaimana jika vaksinnya belum ditemukan seperti pandemi corona yang terjadi saat ini?

Ahli epidemiologi penyakit menular dari Universitas Edinburgh, Mark Woolhouse mengatakan, herd community bisa diciptakan secara alami tanpa vaksinasi. Caranya, dengan membiarkan banyak orang terinfeksi hingga antibodi mereka tumbuh dengan sendirinya.

Tapi Covid-19 punya tingkat infeksi tinggi. Akibatnya, kelompok rentan tetap mungkin akan menjadi target penularan virus sekalipun herd immunity alami telah terjadi. “Tidak berarti penyakit tidak dapat menyebar, karena masih akan ada beberapa orang yang rentan,” kata Woolhouse.

Ia juga menilai herd immunity terlalu beresiko karena virus corona belum diteliti dengan baik oleh para ilmuwan. “Kami tidak tahu seberapa protektif antibodi (manusia) menanggapi (virus corona) untuk jangka panjang, kami tidak tahu berapa lama,” ucapnya.

(Baca: Alumni UI Buat Tiga Skenario Corona RI, Paling Cepat Berlalu Akhir Mei)

Peneliti Mukrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra juga mengatakan mengandalkan kekebalan komunitas adalah skenario terburuk dalam menghadapi pandemi corona. Biaya kesehatan yang harus dikeluarkan menjadi meningkat. Pemerintah belum tentu sanggup melakukannya.

"Lebih baik saat ini mendorong pencegahan jangan sampai tertular, jangan sampai kita menunggu sakit terus kebal," katanya, seperti yang dilaporkan oleh Antara.

Suasana London, Inggris, di tengah pandemi virus corona. (ANTARA FOTO/REUTERS/Dylan Martinez/nz/cf)

Swedia Mulai Terapkan Herd Immunity

Inggris sempat melakukan herd immunity. Pemerintah di sana mendorong munculnya kekebalan alami itu dengan membiarkan sekolah, teater, dan tempat publik lainnya tetap dibuka untuk umum.

Dilansir dari The Atlantic, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson ketika itu berpendapat pembatasan sosial hanya akan menimbulkan keresahan sosial, dan membuat orang tidak kooperatif dan tidak waspada.  

Lalu, Kepala Penasihat Ilmiah Inggris Sir Patrick Vallance meyakini diperlukan sekitar 60% populasi di negaranya atau 40 juta warga yang terinfeksi agar kekebalan komunitas bisa terwujud. “Sehingga lebih banyak orang kebal terhadap penyakit ini dan kami mengurangi penularannya,” kata Patrick, dikutip dari ABC Australia.

(Baca: Para Lansia Berusia Seabad yang Sembuh dari Corona)

Namun, pada 16 Maret lalu Boris menangguhkan kebijakan itu. Ia mulai mengajak masyarakat Inggris untuk secara sukarela menjaga jarak, caranya tetap di dalam rumah dan tidak lagi mengunjungi tempat umum. Sekolah dan tempat publik lalu resmi ditutup.

Pembatalan itu dipicu hasil analisis ahli imunologi dari Imperial College London. Analisis itu menungkapkan 30% dari pasien positif virus corona di Italia memerlukan perawatan intensif. Jika angka tersebut sampai terjadi di Inggris, maka fasilitas kesehatan negara itu akan terguncang.

Kegagalan herd immunity juga terjadi di Belanda. Perdana Menteri Mark Rutte pada 19 Maret 2020 mengatakan kekebalan kawanan adalah strategi pemerintahnya dalam mengontrol penyebaran virus tanpa pembatasan sosial. Strategi itu disetujui oleh mayoritas anggota parlemen.

Pada akhirnya eksperiman tersebut tidak berhasil. Melansir dari Whizz Flash, kegagalan terjadi karena pemerintah Belanda membiarkan anak muda keluar rumah. Kelompok umur ini memang jarang menunjukkan gejala Covid-19, yaitu demam, batuk, dan sesak napas. Tapi kenyatannya, mereka justru yang paling banyak terinfeksi di Belanda.

Kondisi itu diperparah dengan kontak anak-anak muda dengan kelompok rentan. Kasus infeksi bukan menurun, malah semakin banyak dan tidak dapat ditangani oleh sistem layanan kesehatan di sana.

(Baca: Pandemi Corona Masih Normal, Jokowi Belum Terapkan Darurat Sipil)

Dua negara telah membatalkannya, Swedia justru tengah memulai penerapan herd immunity. "Tujuan utama kami sekarang adalah untuk memperlambat penyebaran infeksi sebanyak mungkin, dan membangun semacam kekebalan dalam masyarakat," kata ketua ahli epidemologi Swedia, Ander Tegnell, dikutip dari ABC Australia.

Tegnell menyakini virus corona akan reda sekitar bulan Mei dan kembali mengancam pada musim gugur. “Penting mengetahui seberapa banyak populasi yang terinfeksi. Ini akan menentukan apa yang terjadi di musim gugur,” katanya.

Paul Franks, ahli epidemologi geneti dari Universitas Lund dalam The Conversation menulis, Swedia optimistis menerapkan kekebalan kawanan lantaran memandang virus corona memiliki risiko yang lebih ringan ketimbang flu Spanyol.

Pemerintah Swedia memperkirakan tingkat case fatality ratio (CFR) atau proporsi angka kematian terhadap kasus infeksi dalam wabah corona di negara tersebut hanya berkisar 0,5% hingga 1% lebih rendah dari flu Spanyol yang mencapai 3% pada tahun 1918 dan 1919 lalu.

Penulis: Nobertus Mario Baskoro (Magang)