Tingkatkan Imunitas di Saat Pandemi, Ini Tips Berjemur Matahari Pagi

ANTARA FOTO/Septianda Perdana/foc.
Seorang ibu menjemur kedua anaknya di bawah sinar matahari di Medan, Sumatera Utara, Minggu (22/3/2020). Berjemur menjadi salah satu cara untuk meningkatkan imunitas tubuh di tengah pandemi virus corona.
Penulis: Sorta Tobing
30/3/2020, 14.02 WIB

Vitamin D3 juga memiliki fungsi lain, yaitu mencegah kanker dan penyakit autoimun. Jadi, konsep berjemur sebenarnya bukan mematikan virus corona. Namun, meningkatkan imunitas tubuh agar mampu melawan virus.

Lamanya waktu berjemur terganggu kondisi kulit. Tan menyarankan sekitar 15 menit per hari untuk kulit yang terang. Sementara, kulit yang gelap sektiar 20 menit. Paling tidak sepertiga dari kulit harus terkena sinar matahari untuk penyerapan maksimal. Daerah punggung dapat menjadi area yang cukup luas untuk melakukan hal itu.

Gelombang Sinar Matahari yang Berbahaya Bagi Kulit

Situs Halodoc menyebut ada tiga macam gelombang sinar matahari. Yang pertama adalah ultraviolet A. Biasanya muncul pada pagi hari, sekitar pukul tujuh. Gelombang sinarnya lebih panjang daripada UV B sehingga dapat masuk ke dalam jaringan kulit. Kalau seseorang terlalu lama terpapar UV A, dapat menyebabkan melanoma (kanker kulit) dan membuat kulit cepat keriput.

UV B gelombangnya lebih pendek sehingga hanya mencapai permukaan kulit saja. Namun, jika terlalu lama terpapar sinar ini akan menyebabkan kulit gosong atau kemerahan. Untuk mencegah hal itu, dapat memakai krim proteksi sinar matahari atau sunblock dengan SPF (sun protector factor) tertentu.

Sementara, UV A dapat ditahan dengan PA atau protection grade of UV A. Sayangnya, banyak orang memilih sunblock berdasarkan SPF aja. Karena itu, pastikan membeli tabir surya mengandung kedua bahan tersebut.

(Baca: Imbauan Tak Manjur, Jokowi Minta Langkah Tegas Cegah Warga Mudik)

Yang terakhir adalah ultraviolet C. Jenis sinar ini yang paling berbahaya untuk kulit. Namun, gelombang ini ternyata bisa dimanfaatkan untuk membunuh spora, bakteri, beragam tipe jamur, cendawan, protozoa, dan virus.

Tim peneliti dari Universitas Indonesia dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, melansir dari Kompas.com, sedang mengembangkan pemanfaatan sinar tersebut. Tujuannya, untuk menjadi bahan pengganti disinfektan yang sedang langka di tengah pandemi corona.

“Alat ini akan sangat membantu rumah sakit yang saat ini kewalahan mendapatkan disinfektan akibat kelangkaan maupun melambungnya harga,” kata Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi UI Abdul Haris dalam keterangan persnya, Jumat lalu.

Halaman: