Indonesia diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam menangani kasus virus corona atau Covid-19 yang terus bertambah. Hingga Jumat (27/3), jumlah kasus positif corona sebanyak 1.046 orang yang menyebabkan kematian 87 orang dan hanya 46 orang dinyatakan sembuh.
Jumlah kematian virus corona di Indonesia ini tertinggi di Asia Tenggara dengan fatality rate sebesar 8,3%. Padahal angka rata-ratanya secara global 3,4%, menurut hitungan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
Berbagai simulasi memproyeksikan kasus corona di Indonesia akan terus melonjak. Tim peneliti dari Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB (PPMS ITB) membuat proyeksi penyebaran corona akan memuncak di pekan kedua atau ketiga April 2020.
Sementara, akhir penyebaran kasus diprediksi terjadi pada akhir Mei atau awal Juni 2020. Jumlahnya kasus bisa mencapai jutaan bila tak ada langkah pencegahan yang dilakukan di Indonesia tak seperti Korea Selatan.
(Baca: Penyebaran Corona RI Mirip Korea, Peneliti Perkirakan Berakhir April)
Proyeksi berakhirnya penyebaran tersebut merupakan hasil mutakhir setelah sebelumnya peneliti menyebutkan penyebaran corona akan memasuki titik puncak pada akhir Maret dan selesai pada pertengahan April 2020. Peneliti mengubah proyeksi karena kasus Covid-19 di Indonesia terus merangkak naik.
Mengutip Reuters, para ilmuwan di Center for Mathematical Modelling of Infectious Diseases yang berbasis di London, Inggris, memperkirakan hanya 2% kasus virus corona di Indonesia yang berhasil dikonfirmasi. Artinya, jumlah kasus yang sebenarnya bisa mencapai 34.300 kasus, lebih banyak dari Iran.
Dalam skenario terburuk, kasus Covid-19 di Indonesia dapat meningkat hingga 5 juta kasus pada akhir April 2020. Peneliti ekonomi kesehatan masyarakat Ascobat Gani memperkirakan Indonesia akan mengikuti Wuhan atau Italia. “Wabah kehilangan kendali, karena mereka telah menyebar di mana-mana,” kata Ascobat kepada Reuters.
(Baca: Pemprov DKI Jakarta Tampung 500 Tenaga Medis Corona di Dua Hotel)
Proyeksi melonjaknya jumlah kasus positif corona ini dikhawatirkan tak mampu diantisipasi oleh sistem kesehatan yang ada di dalam negeri. Alasannya, Indonesia masih kekurangan banyak dokter spesialis yang bisa menangani pasien jika terjadi lonjakan kasus.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany mengatakan, Indonesia saat ini hanya memiliki 1.200 dokter spesialis paru. "Kita kekurangan dokter spesialis di Indonesia," kata Hasbullah ketika dihubungi Katadata.co.id, Jumat (27/3).
Untuk dokter umum, Hasbullah menilai jumlahnya masih cukup untuk dapat menangani pasien. Begitu juga dengan jumlah tempat tidur untuk merawat penderita corona.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, ada 321.544 ranjang rumah sakit di Indonesia. Ini artinya ada 12 kasur untuk setiap 10 ribu orang di dalam negeri.
Hasbullah mengatakan, pemerintah dapat mengatasi kekurangan jumlah tempat tidur untuk perawatan di rumah sakit. Salah satunya dapat dilihat dengan penggunaan Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta sebagai rumah sakit darurat penanganan corona.
(Baca: RS Darurat Corona Wisma Atlet Hingga Kini Sudah Tampung 208 Pasien )
Wisma Atlet sementara ini memiliki daya tampung 3 ribu pasien. Rinciannya, 1.700 pasien akan ditampung di Tower 7, sedangkan 1.300 pasien bakal dirawat di Tower 6. Jika belum cukup, pemerintah akan mengoperasionalkan Tower 4 dan 5 Wisma Atlet untuk merawat pasien.
"Untuk kapasitas tempat tidur sementara ini cukup. Kita juga bisa mengekspansi tempat tidur di rumah sakit dengan sangat cepat," kata Hasbullah.
Walau begitu, Hasbullah mengkhawatirkan jumlah ruang ICU dan ventilator yang ada di Indonesia jika kasus corona melonjak. Untuk ventilator, mengutip laporan Asia Times Indonesia diketahui hanya memiliki 88 unit di seluruh Indonesia. Kemarin, pemerintah baru saja menambah 100 ventilator di Tanah Air.
Jumlahnya jauh berbeda jika dibandingkan dengan yang dimiliki Amerika Serikat, yakni sebanyak 160 ribu unit, sebagaimana dilansir dari Business Insider. Padahal, Amerika Serikat beranggapan jumlah ventilator yang mereka miliki masih kurang dalam menghadapi wabah corona.
"Kalau kasusnya hingga 5.000, kita pasti kewalahan. Enggak akan cukup. ICU dan ventilator yang ada di Indonesia terbatas," kata Hasbullah.
(Baca: G20 Bakal Suntik Dana Rp 80.000 Triliun Redam Dampak Corona)
Ahli epidemiologi dari UI Budi Haryanto juga menilai hal serupa. Menurut Budi, perawatan yang dilakukan oleh rumah sakit terhadap pasien penderita corona akan terbatas. "Rumah sakit tidak siap untuk menangani kasus-kasus potensial," kata Budi seperti dilansir dari Reuters.
Persoalan lain yang juga menjadi kendala adalah terkait dengan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadillah sebelumnya menyebut tak semua rumah sakit memiliki APD yang cukup di tengah melonjaknya pasien Covid-19.
Harif mengatakan berbagai rumah sakit rujukan memang memiliki APD yang memadai. Hanya saja, tidak demikian dengan berbagai rumah sakit nonrujukan, terutama yang berada di daerah.
Padahal, para perawat di berbagai rumah sakit nonrujukan di daerah tersebut tetap membutuhkan APD. Sebab, mereka kerap kedatangan pasien yang menderita gejala serupa virus corona.
Saat ini para perawat baru mengganti APD setiap satu giliran kerja. Idealnya, para perawat mengganti APD setiap bertemu satu pasien. “Biasanya satu APD dipakai lalu buang. Ini satu shift (APD baru diganti),” kata Harif dalam wawancara di radio MNC Trijaya, Sabtu (21/3).
Saat ini pemerintah berkejaran menyediakan alat-alat kesehatan untuk menangani corona. Sebanyak 151 ribu APD telah didistribusikan ke 36 daerah di Indonesia. Tambahan pasokan alat kesehatan pun datang dari sumbangan para investor Tiongkok sebanyak 40 ton.
(Baca: Kemenko Maritim Bantu Datangkan 40 Ton Alat Kesehatan dari Tiongkok)