WHO Sarankan Jaga Jarak Fisik ketimbang Social Distancing saat Corona

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc.
Ilustrasi. Seorang umat Katolik malaksanakan misa d irumahnya di Kali klatak, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (22/3/2020). Kegiatan ini sebagai bentuk physical distancing (jaga jarak fisik) untuk mengurangi penyebaran virus corona COVID-19.
Penulis: Sorta Tobing
26/3/2020, 15.19 WIB

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menganjurkan pemakaian istilah physical distancing ketimbang social distancing sejak Jumat pekan lalu (20/3). Perubahan ini demi memberi kejelasan kepada masyarakat dunia yang sedang berperang melawan virus corona. Mereka tetap bisa melakukan interaksi sosial, namun harus menjaga jarak secara fisik.

Pemerintah Indonesia pun sepakat dengan istilah tersebut. Presiden Joko Widodo dalam keterangan persnya beberapa kali mengimbau masyarakat untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Pada Selasa lalu, Jokowi mengapresiasi gerakan masyarakat yang menggalakkan physical distancing untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Peran seluruh elemen masyarakat sangat penting untuk mendukung program itu.

“Karena hanya dengan kedisiplinan yang kuat kita bisa mencegah penyebaran Covid-19. Kita bangsa besar, bangsa petarung, bangsa pejuang. Insya Allah kita bisa menghadapi tantangan global ini,” ucap Jokowi.

Pada hari ini, dalam pemakaman ibundanya, Hj Sudjiatmi Notomihardjo, Jokowi juga menerapkan pembatasan jarak fisik tersebut. “Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon berkenan berdoa dari rumah masing-masing, dan tidak perlu beramai-ramai melayat ke rumah duka atau ke pemakaman, karena kita tetap harus menjalankan physical distancing,” ucap Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

(Baca: Mengenal Sudjiatmi, Ibunda Jokowi yang Pernah Difitnah PKI)

Beda Social Distancing dan Physical Distancing

Mengacu pada Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat Covid-19 di Indonesia, social distancing adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah. Pembatasan sosial ini dilakukan oleh semua orang di wilayah yang diduga terinfeksi penyakit.

Dalam skala besar, tujuannya untuk mencegah perluasan penyebaran penyakit tersebut. Pembatasan ini termasuk meliburkan sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, dan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Masyarakat diimbau untuk mengurangi interaksi sosial dengan tetap tinggal di dalam rumah dan mengurangi pemakaian transportasi umum. Dalam pedoman ini juga menyebut batas kontak fisik yang ideal, yaitu minimal satu sampai dua meter. Tidak bersalaman, berpelukan, apalagi berciuman.

Lalu, hindari pemakaian transportasi publik di saat jam sibuk dan bekerja di rumah. Masyarakat juga dilarang berkumpul massal di kerumuman atau tempat publik. Terakhir, hindari berkumpul bersama teman, keluarga, bertatap muka, dan bersilaturahmi.

Imbauan ini sebaiknya diikuti dengan ketat, khususnya bagi mereka yang berusia di atas 60 tahun ke atas, memiliki penyakit omorbid (penyerta) seperti diabetes, hipertensi, asma, dan kanker, serta ibu hamil.

(Baca: Stres di Tengah Pandemi Corona, Awas Kesehatan Mental Terganggu!)

Sebenarnya pembatasan fisik juga berisi imbauan dan larangan tersebut. Penekanannya adalah hubungan sosial tetap harus terjaga. WHO mengubah istilah pembatasan tersebut karena tidak ingin membuat banyak orang menjadi terisolir dan kesehatan mentalnya terganggu.

“Tidak berarti bahwa secara sosial kita harus memutuskan hubungan dengan orang yang kita cintai dan keluarga kita,” kata Kepala Unit Penyakit dan Zoonosis WHO Dokter Maria Van Kerkhove, seperti dikutip dari Rappler.com.

Ia menganjurkan semua orang untuk tetap berkomunikasi satu dengan yang lain, baik melalui internet, media sosial, dan telepon. Di saat seperti ini penting untuk saling terhubung satu sama lain sambil tetap menjaga jarak fisik. “Kesehatan mental Anda dalam melalui pandemi corona sama pentingnya dengan kesehatan fisik Anda,” ucapnya.