Pemerintah akhirnya tak lagi memusatkan laboratorium virus corona Covid-19 di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan. Per hari ini, Senin (16/3), pemeriksaan sampel dapat dilakukan di Universitas Airlangga, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL), dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute.
Langkah ini sebagai upaya pemerintah mempercepat pemeriksaan. “Jadi, penting untuk kami lakukan dengan cepat agar dapat mengidentifikasi dan mengisolasi kasus positif sehingga tidak menjadi sumber penyebaran di masyarakat,” kata juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat lalu.
Ketiga lembaga itu ditunjuk karena memiliki biosafety level (BSL) atau level keselamatan biologi tipe 2. Artinya, akses menuju laboratorium dibatasi dan para pekerjanya memiliki pelatihan khusus dalam menangani agen patogenik. Biasanya, BSL tipe 2 adalah laboratorium untuk keperluan riset, bukan rumah sakit.
Sebelumnya, pemeriksaan sampel seseorang terinfeksi Covid-19 atau tidak, terpusat di Balitbangkes di Jakarta. Akibatnya, pengujian untuk pasien di luar kota memakan waktu yang sangat lama. Selain itu, kapasitas Balitbangkes terbatas, hanya 1.700 sampel per hari.
(Baca: Para Menteri Jokowi Jalani Tes Infeksi Corona, Hasilnya Beragam)
Dalam pengujiannya, pemerintah menggunakan dua metode, yaitu polymerase chain reaction (PCR) dan genome sequencing. Yuri pernah mengatakan kedua tes itu mengambil sampel berupa cairan di tenggorokan dan paru-paru.
Petugas medis akan memasukkan alat melalui hidung sampai tenggorokan. Lalu, ada alat lainnya untuk mengambil sampel dari mulut sampai paru-paru. Untuk PCR, hasilnya dapat selesai dalam 24 jam. “Metode GS butuh waktu tiga hari baru selesai,” ujar Yuri pada Selasa lalu.
Pemerintah memakai dua metode itu untuk keperluan akurasi. PCR dapat memunculkan hasil false positive. Hal ini merujuk pada beberapa kasus yang terjadi di Amerika Serikat. Ketika PCR menyatakan positif, GS malah menyatakan sebaliknya.
Karena itu, Yuri mengatakan pemeriksaan terduga atau suspect Covid-19 tidak bisa memakai salah satu tes saja. Kedua metode tersebut memiliki perang masing-masing untuk saling melengkapi dan memberikan hasil yang akurat. PCR memberikan hasil yang cepat. GS akan memberitahukan jika ada virus lain, selain Covid-19, di dalam tubuh pasien.
(Baca: Membandingkan Cek Virus Corona di Indonesia dan Berbagai Negara)
Identifikasi Virus Corona dalam Hitungan Jam
Universitas Airlangga, melalui Institute of Tropical Disease, telah menyiapkan 2 ribu tes kit Covid-19. Alat ini bisa digandakan menyesuaikan kebutuhan sampel yang diuji. “Kami akan memperbanyak reagen supaya lebih banyak lagi yang bisa kami uji,” ucap Ketua ITD Unair Profesor Inge Lucida seperti dikutip dari Antara.
Unair mengklaim akurasi pendeteksiannya hingga 99% dan tidak memerlukan waktu lama untuk mendapatkan hasilnya. “Dua sampai tiga hari bisa keluar hasilnya, bahkan bisa hanya lima jam,” kata Inge.
Dalam situs resminya, Unair mendapatkan reagen tersebut bekerja sama dengan Kobe University, Jepang. Reagen merupakan perekasi kimia yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang suspect atau positif virus corona Covid-19.
(Baca: Sejumlah Rumah Sakit Rujukan Corona Tak Responsif Tangani Pasien)
Sementara, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute telah menyiapkan tes PCR untuk menguji spesimen pasien terduga atau suspect Covid-19. “Kalau di Eijkman bisa keluar dalam waktu sekitar empat jam. Tapi tentu kami tes berkali-kali menggunakan PCR,” kata peneliti senior di lembaga itu, Herawati Sudoyo, seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Sama dengan ITD Unair, Eijkman tidak menerima pasien terduga virus corona. Kedua lembaga itu hanya menerima spesimen sampel dari rumah sakit untuk melakukan uji laboratorium.
Melansir dari situs resminya, fasilitas laboratorium di Eijkman telah tersertifikasi BSL tipe 2. Kemampuan ini didukung fasilitas analisis bioinformatika yang diakui internasional.
Selain itu, lembaga riset ini juga sudah memiliki pengalaman dalam menangani penyakit infeksi. Misalnya, kasus virus flu burung (H5N1 pada 2005), virus West-Nile (2012), virus Zika (2015), kejadian luar biasa tifoid dan leptospirosis di Jeneponton, Papua (2019).
(Baca: Eijkman Ragukan Prediksi BIN soal Puncak Pandemi Corona pada Ramadan)