Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan Firli Bahuri telah menghentikan 36 kasus penyelidikan. Mayoritas kasus yang dihentikan KPK merupakan kasus suap.
"Sebagian besar objeknya berkaitan dengan suap," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/2).
Dia menyebut bahwa kasus suap tersebut terkait dengan sejumlah hal, seperti pengadaan barang dan jasa, pengurusan perkara, dan juga jual beli jabatan.
(Baca: ICW Tunjukkan Bukti UU KPK Baru Persulit Pengusutan Kasus Suap KPU)
Namun demikian, dirinya enggan menyebutkan lebih spesifik perkara suap yang dimaksud. Menurutnya, KPK tidak bisa mendetaikanl perkara-perkara yang dihentikan tersebut untuk melindungi pelapor maupun pihak-pihak yang belum ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, Alexander menyatakan keputusan penghentian penyelidikan 36 perkara itu telah melalui proses evaluasi terlebih dahulu oleh penyelidik dan deputi penindakan, sebelum diserahkan dan diputuskan oleh pimpinan KPK.
Penghentian perkara tersebut menurutnya juga dilakukan karena penyelidik tidak menemukan bukti-bukti permulaan yang cukup.
"Di undang-undang yang baru kan jelas itu kalau dalam 2 tahun penyidikan itu belum cukup alat bukti, KPK boleh atau dapat menghentikan penyidikan," ujarnya.
(Baca: KPK Berencana Setop Penyidikan 3 Kasus Korupsi)
Dalam kesempatan itu Alex juga mengatakan bahwa 36 perkara yang proses penyelidikannya dihentikan itu, sebagian besar hasil proses penyelidikan secara tertutup dengan proses penyelidikan sebagian besar menggunakan penyadapan.
"Lama tidak ada percakapan, dari percakpakan tidak ada bukti, ya sudah. Ada yang kita sadap sampai 6 bulan 1 tahun tidak ada apa-apa, kita teruskan tidak mungkin juga, apalagi kegiatan itu sudah terjadi, sudah lewat, itu sebagian besar seperti itu," katanya.
Sebelumnya, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri pada Kamis (20/2).juga menyatakan jenis kasus yang dihentikan bukan kasus besar yang selama ini menuai sorotan seperti korupsi divestasi saham perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara, pengadaan 'Quay Container Crane' (QCC) di PT Pelindo II.
Selanjutnya, pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta Barat, dan penghapusan piutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
"Pengembangan dari BLBI dan sebagainya, saya kira tidak ada yang berkaitan dengan itu," kata Fikri.
Tak Ikut Campur
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan bahwa penghentian penyelidikan 36 perkara korupsi merupakan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Pertama, saya tidak tahu apa saja kasusnya. Kedua, KPK bukan bawahan Menko Polhukam," kata Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (21/2).
Menurut dia, KPK merupakan lembaga independen sehingga pihaknyatidak ingin ikut campur atas pengambilan kebijakan.
(Baca: Mahfud MD Tegaskan Ketua KPK Firli Bahuri Tak Lagi Bawahan Kapolri)
"Katanya disuruh independen kan, jadi kita tidak ikut campur saja. Saya tidak tahu juga mau komentar apa. Silakan saja," ujarnya.
Mahfud lantas menyarankan untuk menanyakan persoalan tersebut kepada KPK langsung sebagai pengambil kebijakan.
"Dan itu wewenang dia, jadi tanya ke KPK saja. Mungkin ada alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, saya tidak tahu," katanya.