Rencana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyelenggarakan balap Formula E di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat menuai kontroversi. Kegiatan tersebut dikhawatirkan akan merusak kawasan Monas yang merupakan cagar budaya.
Penolakan diserukan oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), DPRD DKI hingga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. Ketua TACB Pemprov DKI Jakarta Mundardjito mempertanyakan etika pelaksanaan Formula E di Monas.
"Pantas enggak di masjid menggelar dangdut? Kan tidak pantas. Pantas enggak di Monas itu ada balapan? Itu kami sampaikan," kata Mundardjito seperti dikutip CNNIndonesia.com, Kamis (20/2). Unsur kepantasan menjadi alasan penting karena menyangkut kelestarian cagar budaya.
Persiapan Formula E juga menjadi alasan Pemprov DKI untuk merevitalisasi Monas. Mundardjito mengingatkan, revitalisasi cagar budaya dilarang mengubah bentuk asli bangunan. TACB juga membantah telah memberikan rekomendasi untuk penyelenggaraan balap mobil listrik tersebut, sebagaimana disebut dalam surat Anies kepada Kementerian Sekretariat Negara.
Ketua IAAI Wiwin Djuwita Ramelan mengatakan, IAAI memprotes keras revitalisasi dan rencana penggunaan Monas menjadi ajang balap Formula E. Pasalnya, kegiatan itu dilakukan tanpa memperhatikan prosedur dan aturan yang ada. Syarat utama untuk melaksanakan Formula E dan merevitalisasi Monas adalah izin dari Komisi Pengarah, yang beranggotakan Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ketentuan itu diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995.
IAAI juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menyebutkan revitalisasi harus memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan lanskap budaya asli. "Di pasal 86, pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadi kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan analisis mengenai dampak lingkungan," kata Wiwin dalam keterangan tertulis. Oleh karena itu, IAAI meminta Pemprov DKI menghentikan pembongkaran kawasan Monas yang bisa mengakibatkan kerusakan cagar budaya tersebut.
Megawati pun turut angkat bicara. Ia mempertanyakan mengapa Pemprov DKI bersikeras menyelenggarakan Formula E di Monas. "Kenapa sih enggak di tempat lain? Peraturan itu ya peraturan," kata Megawati seperti dikutip Kompas.com, Kamis (20/2).
Ia berpegang pada peraturan yang menyebutkan cagar budaya harus dilindungi. "Jangan pula saya dibentur-benturkan sama Pak Anies," ujarnya.
(Baca: Kisruh Penebangan Pohon pada Proyek Revitalisasi Monas)
Cagar Budaya dan Sejarah Monas
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan cagar budaya? Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, disebutkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat maupun di air. Cagar budaya perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan melalui proses penetapan.
Seperti dilansir situs kebudayaan.kemdikbud.go.id, warisan budaya yang bersifat kebendaan ini berwujud konkret, dapat dilihat dan diraba, mempunyai massa dan dimensi yang nyata. Misalnya, batu prasasti, candi, batu nisan, dan lain-lain.
Monas tercatat di Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya Nomor RNCB 199930329.05.000755. Monas merupakan kawasan cagar budaya yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Nomor 475 Tahun 1993.
Menurut buku Medan Merdeka - Jatung Ibu Kota RI yang ditulis Heuken A, Presiden Soekarno merencanakan pembangunan Monas di lapangan yang berada di depan Istana Merdeka. Tujuannya, untuk mengenang dan melestarikan perjuangan Indonesia pada masa revolusi dan membangkitkan inspirasi serta semangat patriotisme generasi penerus bangsa.
Sayembara perancangan Monas dibuka oleh Komite Nasional pada 1955. Dari 51 karya yang masuk, hanya rancangan milik Freidrich Silaban yang memenuhi kriteria. Sayembara kedua diselenggarakan pada 1960. Ada 136 karya yang masuk tetapi tidak satupun memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Ketua juri lalu meminta Silaban menunjukkan rancangannya kepada Soekarno. Namun, Soekarno kurang menyukai rancangan itu. Ia menginginkan monumen yang berbentuk lingga dan yoni. Ia pun meminta Silaban merancang monumen dengan tema seperti itu.
Rancangan baru Silaban ternyata membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga tidak dapat ditanggung oleh anggaran negara. Apalagi, pada waktu itu kondisi ekonomi Indonesia kurang baik. Silaban menolak mengubah rancangannya dan meminta Soekarno menunggu hingga kondisi ekonomi Indonesia lebih baik.
(Baca: Menuju Jakarta E-Prix, Berikut Panduan Menonton Balapan Formula E)
Soekarno akhirnya meminta arsitek R.M. Soedarsono meneruskan rancangan monumen itu. Soekarno memasukkan angka 17, 8, dan 45 yang melambangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pembangunan Monas dimulai pada 17 Agustus 1961 di kawasan seluas 80 hektare.
Seperti dikutip dari National Monument: The Monument of the Indonesian National Struggle, Monas terdiri atas lingga (obelisk) setinggi 117,7 meter di atas landasan persegi setinggi 17 meter dengan pelataran cawan yang menggambarkan yoni. Di puncaknya terdapat cawan yang menopang lidah api yang menjadi simbol semangat perjuangan rakyat meraih kemerdekaan.
Lidah api perunggu itu dilapisi emas seberat 50 kg. Sekitar 28 kg dari emas itu disumbangkan oleh Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia pada waktu itu. Setelah sempat terhenti pembangunannya pasca-peristiwa 30 September 1965, Monas diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 12 Juli 1975.
(Baca: Jakpro Klaim Balap Formula E Beri Dampak Ekonomi RI Rp 600 Miliar)
Penebangan Pohon dan Pembongkaran Batu Alam
Revitalisasi Monas yang dimulai pada 20 November 2019 juga mendapat sorotan. Pemprov DKI menebang 190 pohon di sisi selatan kawasan Monas. Di kawasan tersebut akan dibangun semacam amphitheater atau area terbuka dengan tempat duduk berundak-undak yang digunakan untuk pertunjukan maupun aktivitas olahraga. Selain itu, akan dibangun kolam pantulan bayangan (reflection pool).
PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sebagai pelaksana Formula E juga akan membongkar susunan batu alam di Monas dan menggantinya dengan aspal untuk membuat lintasan sirkuit balap sesuai standar FIA. Direktur Utama Jakpro, Dwi Wahyu Daryoto, mengatakan pembongkaran batu alam itu tidak akan menghilangkan fungsi serapan air di kawasan Monas. "Di bawah cobblestones (batu alam) itu bukan tanah," ujarnya, seperti dikutip Antara.
Ada dua opsi yang disiapkan Jakpro. Pertama, membongkar batu alam kemudian melapisinya dengan aspal. Kedua, melapisi batu alam dengan aspal sehingga lantai Monas tidak perlu dibongkar.
Formula E yang akan berlangsung pada 6 Juni 2020 membutuhkan sirkuit sepanjang 2.588 km dengan 12 tikungan. Balapan akan dilakukan searah jarum jam. Jakpro optimistis balap mobil listrik ini dapat diselenggarakan di Monas. Jumlah pengunjung diperkirakan bakal lebih dari 10 ribu orang.
(Baca: Jakpro Ingin Batu Alam di Monas Diaspal Permanen untuk Formula E)
Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta Saefullah juga mengungkapkan alasan lain mengapa Formula E akan digelar di Monas. Monas merupakan ikon nasional yang ada di Jakarta. Dengan penyelenggaraan event internasional, Jakarta bakal menjadi sorotan media nasional maupun internasional. "Oh, ini ada yang namanya Tugu Monas di Jakarta, Indonesia. Orang semakin tahu seperti apa," ujarnya seperti dikutip Tirto.id.
Pemprov DKI juga berjanji pelaksanaan Formula E tidak akan merusak kawasan cagar budaya tersebut. Saefullah mengatakan, pembuatan konstruksi lintasan, tribun penonton maupun fasilitas lainnya akan memperhatikan UU Nomor 11 Tahun 2010.