ESDM Bakal Lelang 12 Blok Migas dengan Dua Skema Kontrak Migas

Pertamina Hulu Energi
Blok migas milik PHE. Pemerintah akan menawarkan dengan skema gross split dan cost recovery.
Editor: Yuliawati
15/1/2020, 14.48 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal melelang 12 blok minyak dan gas bumi (migas) pada tahun ini. Blok tersebut terdiri dari 10 blok konvensional dan dua blok nonkonvensional.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Ditjen Migas Kementerian ESDM mengatakan pemerintah bakal menawarkan dua skema kontrak migas dalam lelang 12 blok migas tersebut.  "Sudah kami siapkan untuk skemanya akan dilihat dari sisi teknis apakah cost recovery atau gross split, yang jelas dari pimpinan terbuka tergantung hasil teknis," kata Mustafid di Kantor Ditjen Migas, Selasa (14/1).

(Baca: ESDM Klaim Iklim Investasi Hulu Migas RI Masih Menarik Buat Asing)

Kementerian ESDM bakal melelang 10 blok migas konvensional terlebih dahulu. Targetnya selesai pada semester pertama tahun ini. Setelah itu, ESDM akan melelang blok migas nonkonvensional. "Kapan (waktunya)? Sedang dipersiapkan berharap Maret atau April konvensional bisa dilelang 10 dulu," ujarnya.

Pelaksana Tugas Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah saat ini sedang mengkaji keekonomian penggunaan skema cost recovery dan gross split.

Dalam skema cost recovery, porsi pemerintah akan lebih besar karena ikut menanggung biaya. Sedangkan jika memakai skema gross split bagian pemerintah akan lebih kecil karena semua biaya menjadi tanggungan kontraktor.

"Kami perlu waktu untuk bandingkan ini. Karena kalau dilelang itu eksplorasi jadi susah hitung keekonomiannya. Kalau perpanjangan gampang," kata Djoko.

(Baca: SKK Migas Harap Negosiasi Transisi Blok Rokan Rampung Akhir Januari)

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai rencana pemerintah cukup bagus karena memberikan pilihan kepada investor dalam penerapan kontrak migas. Di samping itu, bila perlu pemerintah juga dapat mengkaji opsi untuk menerapkan sistem kontrak royalty and tax.

"Investor menjadi lebih fleksibel dan mempunyai pilihan, tidak terpaku pada keharusan untuk menggunakan Gross Split," ujarnya kepada Katadata.co.id.

Pri Agung mengatakan royalty and tax merupakan versi asli dari Gross Split. Sistem tersebut lebih sederhana dibandingkan gross split karena tidak mempunyai embel-embel progresif dan variabel split yang rumit.

"Negara negara maju seperti AS, UK, Eropa Barat rata-rata menerapkan tax royalty," ujarnya.

Menurutnya bila royalty and tax dapat diterapkan di industri migas Indonesia, maka kontraknya haruslah antara business to business terlebih dahulu. Atau jika melalui pemerintah dapat dijalankan dengan sistem yang diterapkan di pertambangan umum atau minerba.