Dewan Perwakilan Rakyat dan kelompok advokat mengkritik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang dianggap tidak tegas dalam kasus masuknya kapal Tiongkok di wilayah perairan Natuna.
Anggota Komisi I DPR Farah Putri Nahlia mengatakan Sebenarnya dewan siap untuk menyampaikan sikap keras atas insiden tersebut. Namun pemerintah malah cenderung lunak, padahal antara eksekutif dengan legislatif harus satu pandangan dalam diplomasi global.
Luhut sebelumnya meminta masuknya kapal coast guard dan kapal nelayan Tiongkok ini tidak dibesar-besarkan. Sedangkan Prabowo mengatakan negeri Panda itu merupakan sahabat dan RI perlu mencari jalan damai dalam menyelesaikan sengketa Natuna.
“Misalnya kemarin Menhan atau Pak Luhut tidak menyatakan sikap tegas sehingga kami sudah sampaikan sikap tapi pemerintah tidak. Ini menyebabkan terjadinya kebingungan,” kata Farah dalam sebuah diskusi di Jakarta hari Kamis (10/1).
(Baca: Bertemu Menlu Jepang, Jokowi Ajak Investasi di Natuna)
Farah mengatakan adanya penyusupan kapal asing ke perairan Natuna telah disampaikan Prabowo dalam rapat tertutup Desember lalu. Namun, pembahasan belum membicarakan solusi konkret.
Farah juga menilai persoalan perairan Natuna tidak hanya sebatas klaim sepihak atas sumber daya alam, namun ada aspek lain yang jauh lebih besar dibandingkan itu. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah mengambil langkah tegas sesegera mungkin.
"Kami sangat tidak setuju apa yang dilakukan Tiongkok dan pemerintah harus mengambil langkah tegas agar kapal ini tidak berada di perairan kita," ujar politisi Partai Amanat Nasional itu.
Direktur Imparsial & Hubungan Kelembagaan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Al Araf juga menganggap sikap yang ditunjukkan dua pembantu Presiden Joko Widodo itu ambigu. Namun dia juga mengingatkan penanganan sebuah permasalahan perbatasan akan ditentukan oleh karakter pemimpin dalam melihat hukum internasional atas klaim sebuah wilayah.
Menurut dia, pemerintah saat ini cenderung mengambil pendekatan positivisme dalam menyelesaikan konflik itu. Al Araf mengatakan RI lebih menginginkan adanya konflik itu demi keuntungan bersama. "Akibat adanya kepentingan ekonomi yang memikat," kata dia.
Dia juga meminta pemerintah meniru Filipina yang menggugat Tiongkok di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) meski akhirnya Beijing tetap tidak mengakui batas laut dua negara. “Paling tidak ada satu langkah maju,” ujar dia.
Sedangkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebut kapal-kapal Tiongkok yang sebelumnya memancing ikan secara ilegal di perairan Natuna Utara pada hari Kamis (9/1) telah keluar dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
(Baca: TNI: Usai Jokowi Datang ke Natuna, Kapal Tiongkok Keluar Dari ZEE RI