Chief Executive Officer (CEO) Chevron Corporation Michael Wirth menyatakan pasar minyak masih stabil di tengah hubungan Amerika Serikat (AS) dan Iran yang semakin memanas. Dia bahkan menyebut pasokan minyak tidak terganggu konflik di Timur Tengah tersebut.
Dilansir dari CNBC.com, Michael mengungkapkan konflik antara AS dan Iran merupakan sentimen penting bagi harga minyak. Namun, pasokan minyak masih aman selama tidak ada serang terhadap infrastruktur energi di Timur Tengah.
Pasalnya, serangan terhadap kilang Saudi Aramco pada tahun lalu pun tidak membuat harga minyak naik cukup tinggi. Sebab, suplai minyak dengan cepat tersedia di pasar.
"Kondisi di Timur Tengah tidak menyerang infrastruktur energi atau mengubah dinamika suplai dan demand di pasar," kata Michael seperti dikutip dari CNBC.com pada Rabu (8/1).
(Baca: Konflik AS-Iran Memanas, Chevron Tarik Pekerja Ekspatriat dari Irak)
Di sisi lain, konflik AS dan Iran membuat Chevron mengevakuasi pekerja ekspatriat di lapangan migas yang berada di Irak. Seperti dilansir dari Reuters, Chevron menyatakan sejumlah kontingen kecil yang terdiri dari pekerja ekspatriat dan kontraktor sementara telah meninggalkan wilayah operasi migas di Kurdistan seiring memanasnya situasi di Timur Tengah.
Perusahaan migas asal AS itu memiliki wilayah operasi migas di Irak yang ditargetkan bisa memproduksi 20 ribu barel minyak per hari (bopd) pada pertengahan tahun ini. Operasi wilayah kerja tersebut dilanjutkan oleh staf lokal dan pekerja ekspatriat bakal bekerja dari jarak jauh.
Pemerintah AS pada pekan lalu telah menginstruksikan warga negaranya untuk pergi dari Iran. Hal itu disampaikan setelah serangan drone AS membunuh Komandan Militer Iran Qasem Soleimani dan Komandan Militer Irak Abu Mahdi al-Muhandis.
(Baca: Harga Minyak Meroket setelah Iran Serang Pangkalan Militer AS)