Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan selama puluhan tahun Laut Natuna milik Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketetapan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau konvensi Hukum Laut PBB pada 1982.
Atas dasar itu, Indonesia tidak akan mengakui klaim sepihak Tiongkok atas wilayah perairan tersebut. “Kami mendesak Tiongkok untuk menghormati keputusan UNCLOS 1982,” kata Retno di Jakarta, Jumat (3/1).
Kementerian Luar Negeri dalam pernyataan tertulisnya juga menekankan negara ini tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan China. Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash-line atau sembilan garis putus-putus yang diklaim Beijing berada di Laut Cina Selatan.
Pada Kamis lalu Komando Armada I TNI Angkatan Laut melaporkan adanya kapal coast guard Tiongkok beserta kapal nelayan China yang masuk ke wilayah Laut Natuna. Coast guard itu mengawal kapal nelayan melakukan aktivitas perikanan.
Hal tersebut membuat kapal perang Indonesia KRI Tjiptadi-381 dan KRI lainnya mencegat kapal-kapal Cina itu dan mengawalnya keluar dari wilayah Natuna. Pemerintah juga telah memprotes pernyataan resmi dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang.
(Baca: Diklaim China, Bupati Dukung Pemerintah Unjuk Kekuatan di Laut Natuna)
Tiongkok Tolak Protes Indonesia Atas Laut Natuna
Namun, pemerintah Tiongkok menolak protes Indonesia. "Tiongkok memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan memiliki hak yuridiksi atas perairan dekat dengan Kepulauan Nansha," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Geng Shuang pada Selasa lalu.
Geng menegaskan pihaknya memiliki hak historis di Laut Cina Selatan. Nelayan-nelayan negaranya telah lama melaut dan mencari ikan di Kepulauan Nansha.
China bersikukuh tidak melanggar hukum internasional yang ditetapkan oleh UNCLOS, yang juga diakui Beijing. Landasannya adalah klaim perairan Natuna termasuk dalam nine dash line.
Sembilan garis putus-putus itu, mengutip dari Tirto.id, merupakan wilayah historis Laut Cina Selatan seluas dua juta kilometer persegi yang muncul pertama kali pada peta China pada 1947. Tiongkok mengklaim 90% wilayah itu sebagai hak maritimnya, meskipun berjarak dua ribu kilometer dari Cina daratan.
(Baca: Tolak Klaim Laut Natuna, Tiongkok Didesak Hormati Hukum Internasional)
Padahal, klaim Tiongkok atas perairan itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Bahkan, kepulauan yang oleh Tiongkok disebut Nansha itu juga memiliki nama lain, yakni Kepulauan Spratly.
Sidang sengketa yang digelar di Den Haag, Belanda, pada Juli 2016 telah memutuskan Tiongkok tidak memiliki landasan hukum atas klaim tersebut. Laut Cina Selatan adalah bagian dari Samudera Pasifik yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan.
Dengan luas mencapai 3,5 juta kilometer persegi, perairan ini menjadi jalur utama bagi sepertiga pelayaran dunia. Selain itu, perairan ini juga punya potensi perikanan, serta cadangan minyak dan gas bumi yang besar.
Potensi ekonomi yang besar dengan ratusan pulau tak berpenghuni membuat Laut Cina Selatan diperebutkan oleh berbagai negara. Mereka saling klaim hingga menimbulkan perbedaan penyebutan nama kepulauan, seperti Tiongkok dengan Nansha dan Filipina yang menyebutnya Spratly.
(Baca: Insiden Natuna dan Kusutnya Sengketa Laut Cina Selatan)