Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Berpotensi Pengaruhi Iklim Usaha

ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Ilustrasi, petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019). INDEF menilai, kenaikan iuran BPJS Kesehatan bisa berpengaruh terhadap iklim usaha.
Penulis: Rizky Alika
30/10/2019, 21.05 WIB

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan bisa berpengaruh terhadap iklim usaha. Sebab, perusahaan wajib mendaftarkan karyawannya untuk mendapat layanan kesehatan itu.

“Iuran BPJS Kesehatan itu sebenarnya berhubungan dengan cost of doing business (biaya berbisnis). Karena layanan itu masuk sebagai salah satu syarat. Begitu iurannya naik, ada kenaikan biaya produksi. Artinya, bertambah lagi (biaya), jadi tidak kompetitif,” kata dia di Jakarta, Rabu (30/10).

Sebab, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), Bukan Pekerja (BP), dan pekerja penerima upah badan usaha. Kenaikan ini berlaku mulai tahun depan.

Karena itu, menurut dia semestinya pemerintah menunda kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini. “Kalau tidak mau cost of doing business industri itu agak ‘nyungsep’, seharusnya ditunda dulu (aturan itu),” kata dia.

(Baca: Soal Kenaikan Iuran BPJS, Wamenkeu: Bandingkan dengan Asuransi Swasta)

Dengan begitu, pemerintah bisa memperbaiki sistem BPJS Kesehatan. Misalnya, memastikan bahwa peserta penerima bantuan iuran (PBI) benar-benar merupakan masyarakat yang tidak mampu.

Akan tetapi, peserta penerima upah badan usaha yang membayar BPJS Kesehatan, iurannya mengacu pada batas atas gaji Rp 8 juta per bulan. Mengutip dari situs BPJS Kesehatan, iuran bagi peserta pekerja penerima upah di BUMN, BUMD, dan swasta sebesar 5% dari upah per bulan. Dengan ketentuan 4% dibayar pemberi kerja dan 1% oleh peserta.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika